Kamis, 30
Oktober 2014
Sumber : Harian
Kompas
Penulis Artikel
: Mohamad Final Daeng
Oleh : Dwi
Aulia Syifayantie (1801440950)
http://print.kompas.com/gettachment/7e4a3a3f-e57b-4f1
Bagi Darmawan Denassa (38), warga Kelurahan Tamallayang, Kecamatan
Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tanaman adalah kehidupan. Tanaman
bukan sekadar sumber ekonomi dan penjaga ekosistem, tetapi juga menjalin ikatan
sosiologis dan kultural dengan manusia yang dihidupinya.
Saat puluhan
jenis tanaman, termasuk tanaman endemis Sulawesi, mulai langka dari bumi
Sulawesi Selatan, Denassa tergerak untuk menyelamatkannya. Pada tahun 2007 dia
mendirikan Rumah Hijau Denassa (RHD), kawasan konservasi dengan luas lahan 1
hektar yang sekaligus menjadi lokasi rumah tinggalnya.
Denassa menanam
dan melakukan pembibitan berbagai jenis tanaman endemis dan non-endemis
Sulawesi, baik yang sudah langka maupun yang masih melimpah di Sulsel. Dia
berburu bibit dan benih ke berbagai pelosok provinsi itu hingga ke Sulawesi
Barat, keluar-masuk hutan, serta mengumpulkan cerita rakyat dan kearifan lokal
di balik tanaman-tanaman tersebut.
Menurutnya
tanaman merupakan warisan untuk penerus bangsa, orang zaman dahulu pun merawat
tanaman yang ada di muka bumi masa kita tidak mau melakukan hal yang sama
seperti orang pendahulu dan ikut mewariskan tanaman-tanaman untuk generasi
muda.
Hingga kini
terdapat sekitar 450 jenis tanaman yang telah dilestarikan di RHD. Tanaman
tersebut beragam, terdiri dari keluarga kayu-kayuan, bunga-bungaan,
kacang-kacangan, perdu, dan buah-buahan. RHD pun benar-benar menjadi rumah
hijau yang rindang, sejuk, dan terbuka bagi siapa pun yang berkunjung tanpa
dipungut biaya. Denassa juga membagikan bibit tanaman secara gratis kepada
siapa saja yang menginginkannya.
Denassa
mengatakan, terdapat puluhan jenis tanaman di Sulsel yang terancam punah.
Penyebabnya, tekanan alih fungsi lahan hutan, konsumsi secara masif,
pertambangan, hingga alasan sepele karena tanaman itu tak disukai manusia.
Menurutnya ada
sebuah tanaman yang bernama kawuasa, jenis tanaman merambat yang kini sudah
sulit ditemui. Tanaman itu dibenci karena buahnya berbulu dan gatal sehingga
kalau manusia menemukan tanaman itu, biasanya manusia itu langsung membabatnya.
Padahal, buah
kawuasa pada masa lalu turut berjasa dalam perjuangan melawan penjajah Belanda
di Sulsel. Oleh para pejuang, buah itu dijadikan “ranjau” yang disebar di jalur
yang dilewati iring-iringan pasukan Belanda. “Saat pasukan Belanda terkena buah
itu, mereka akan mengalami gatal-gatal hebat sehingga lebih mudah diserang,”
ujarnya.
Meskipun
sekarang kegunaan kawuasa sudah tak relevan lagi, bukan berarti tanaman
tersebut harus dimusnahkan. Denassa meyakini setiap tanaman pasti memiliki
manfaat untuk kehidupan manusia. “Siapa yang tahu buah kawuasa itu suatu saat
bermanfaat. Misalnya, ternyata diketahui bisa menjadi obat. Kalau tidak
dilestarikan, generasi mendatang tak punya kesempatan untuk mempelajarinya,”
katanya.
Pohon mangga
Upaya Denassa
untuk mengonservasi tanaman-tanaman endemis Sulawesi bermula dari kampung
halamannya di Borongtala. Ia besar dalam suasana rimbun pepohonan dan berbagai
tanaman yang tumbuh di lingkungan kampung yang berjarak 31 kilometer arah
selatan Kota Makassar itu.
Namun,
perkembangan zaman dan kebutuhan manusia membuat satu per satu pohon hilang,
termasuk di halaman rumahnya. “Sampai akhirnya ada satu pohon mangga, yang
biasa menjadi tempat favorit bermain waktu kecil, ditebang karena dianggap
menghalangi sinar matahari tempat penjemuran usaha batu bata,” ujarnya.
Peristiwa itu mengusik nuraninya untuk menyelamatkan tanaman.
Pria berlatar
belakang pendidikan sastra Indonesia itu pun memutuskan melepaskan pekerjaannya
sebagai dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Dia ingin
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk upaya konservasi tanaman-tanaman itu. “Saya
berpikir, tidak banyak orang yang melakukan ini. Kalau tidak ada yang
melestarikan, kasihan anak-cucu nanti hanya tahu tanaman dari namanya,”
ungkapnya.
Bagi Denassa, melestarikan
tanaman sekaligus berarti melestarikan kultur dan identitas orang Makassar. Hal
itu karena banyak tanaman memiliki tempat penting dalam ritual, tradisi,
ataupun budaya keseharian masyarakat Makassar yang telah berlangsung selama
berabad-abad.
Denassa
mencontohkan, salah satunya adalah kayu kepundung atau yang dalam bahasa lokal
disebut punaga. Kayu itu adalah bahan baku yang “wajib” ada dalam setiap
pembuatan perahu kecil. “Minyak dari buahnya biasa dipakai untuk bahan bakar
penerangan. Karena itu, dalam kultur pelaut Makassar, kayu kepundung dipercayai
bisa ‘menerangi’ jalan perahu kembali pulang ke daratan,” paparnya.
Akan tetapi,
karena kayu tersebut selalu dipakai untuk membuat perahu, persediaan di alam
pun terus menipis. Tingginya pemakaian itu tidak diimbangi dengan kesadaran
masyarakat untuk menanam kembali kepundung.
Hal serupa
terjadi pada pohon katangka, tanaman endemis Sulawesi yang kayunya dianggap
masyarakat sebagai kayu kehormatan. Kayu itulah yang dipakai sebagai bahan baku
pembangunan masjid pertama saat Islam masuk ke Sulsel pada awal abad ke-17,
yakni Masjid Al-Hilal.
Masjid yang
masih kokoh berdiri hingga kini itu pun lebih dikenal masyarakat dengan nama
Masjid Katangka. “Namun, sekarang pohon katangka sangat langka. Sejauh ini,
saya hanya bisa menemukan 10 pohon yang tersisa di seluruh wilayah selatan
Sulsel,” kata Denassa.
Edukasi
Selain urusan
konservasi, Denassa juga membuka lebar-lebar pintu RHD bagi siapa pun yang mau
belajar. Sejak 2011, dia mengadakan “kelas komunitas” yang diselenggarakan
gratis untuk anak-anak sekolah tingkat dasar hingga atas.
Anak-anak itu
datang seusai sekolah untuk belajar berbagai hal di RHD, mulai dari budaya,
tradisi, lingkungan hidup, etika dan moral, sampai matematika. “Saat ini yang
aktif sekitar 90 anak. Kalau ‘alumninya’ sudah mencapai 200-an anak,” tutur
Denassa.
Setiap bulan,
Denassa juga menggelar diskusi tematik bagi warga sekitar lingkungan tempat
tinggalnya. RHD juga kerap dikunjungi mahasiswa, peneliti, serta lembaga dari
dalam dan luar negeri untuk belajar dan berdiskusi soal berbagai hal.
Atas semua
upayanya itu, Denassa sama sekali tak mengharapkan imbalan materi. Bahkan, dia
setiap bulan harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri lebih kurang Rp 1
juta untuk membiayai operasional RHD. “Saya percaya, melakukan kebaikan itu
lebih berharga daripada harta benda apa pun,” ujarnya.
Perjuangan dan kepedulian terhadap tanaman dan generasi penerus bangsa wajib kita contoh, jika setengah persen orang di dunia melakukan hal yang serupa mungkin tidak akan ada tanaman yang punah karena dirawat oleh orang-orang yang peduli terhadap lingkungan sekitar.
DARMAWAN DENASSA
Lahir: Borongtala, 28 Juli 1976
Istri: Alwiah Hasan (33)
Anak:- Muhammad Fadil Denassa (10)
- Asyraf Muhammad Denassa (4)
Pendidikan :- SDN Center Rappokaleleng, 1983-1989
- SMPN 1 Bontonompo, 1989-1992
- SMEA Negeri 1 Limbung, 1992-1995
- Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1996-2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar