Senin, 05 Januari 2015

Penyebar Semangat Pertanian dari Rendang : I Gusti Ngurah Alit

Senin, 1 Desember 2014
Sumber : Harian Kompas
Penulis Artikel : Ayu Sulistyowati
Oleh : Dwi Aulia Syifayantie

http://print.kompas.com/getattachment/520e5d76-15ff-4003-b437-10a73c19278d/

I Gusti Ngurah Alit, petani berusia 53 tahun ini, tak kenal menyerah. Dalam kamus hidupnya, ia ingin membangkitkan pertanian. Warga Banjar Palak, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali.
  Berawal dari harapan ingin hidup lebih baik dan berguna. Ia melihat lahan pertanian di sekitar Kintamani, Kabupaten Bangli, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari desanya tampak subur. Itu sebabnya ia berkeyakinan tanah sekitar rumahnya, yang sama-sama berada di ketinggian itu, pasti juga bisa menghasilkan produk pertanian dengan baik, jika ditangani dengan serius.


Suatu hari pada tahun 2000, Gusti memberanikan diri untuk memulai menanam cabai di atas tanah pemberian pamannya. Saat itu, ia bermodalkan sekitar Rp 4 juta yang didapat dari hasil tabungan dan ditambah uang pinjaman.

Luas tanah sekitar 5.000 meter persegi itu pun ditanaminya pohon cabai merah besar. Saat itu, warga desanya tak satu pun yang membudidayakan cabai. Warga hanya terbiasa menanam, seperti jeruk, ketela, dan jagung. Itu pun dengan sistem bertani ala kadarnya.

Gusti belajar bertani cabai secara otodidak. Ia tak pernah malu bertanya dan terus belajar kepada petani cabai serta sayuran yang dia temui. Sampai pada akhirnya, panen tiba dan berhasil.
Sebelum menjadi petani yang berhasil, ia pernah ditipu seorang rentenir. Namun, pria yang menyelesaikan pendidikan tingkat SMA dengan belajar di Paket C ini, tak patahsemangat.

"Tahun kedua, warga sekitar mulai ikut menanam cabai. Saya mulai dimintai tolong untuk berbagi ilmu. Saya pun senang,” kata Gusti ditemui di rumahnya, Rabu (19/11).

Ia pun berusaha menghidupkan kembali kelompok tani jeruk Giri Lestari, dengan anggota dirinya beserta 24 warga lain. Kelompok yang mati suri itu pun hidup kembali. Ratusan kilogram cabai mulai memasuki pasar tradisional.

Pada awal pemasarannya pun, Gusti langsung menanganinya sendiri. Ia jajaki pedagang pasar dengan penuh sabar.

"Ya, saat itu cabai merah besar belum populer di Bali. Saya pun sering ditolak pedagang. Namun, sekarang cabai merah besar bisa jadi favorit di sini,” ujarnya dengan senyum.

Keuletannya, sudah membuktikan pada warga desa tentang tanah yang diolahnya serius akan memberikan hasil yang memuaskan. Tidak mengherankan jika langkahnya ini menuai simpati banyak pihak. Warga Desa Rendang pun mulai bersemangat mengolah lahan-lahan mereka menjadi pertanian yang produktif.

Desa yang dulunya sepi dan hanya ramai dengan sejumlah penganggur, serta tenaga serabutan, kini penuh dengan beragam aktivitas pertanian. Mereka rajin mengolah lahannya masing-masing dengan optimistis.

Tak berhenti dengan keberhasilan cabai. Gusti menanam sejumlah sayuran lainnya dan juga berhasil. Hingga kini, sekitar 35 jenis sayuran hidup di desanya. Semua produk pertanian itu, akhirnya mampu meningkatkan hidup mereka.
 Keberhasilannya itu pula yang menjadikan Gusti sibuk dengan permintaan teman tani lainnya untuk berbagi. Mereka ingin mendapatkan ilmu dari Gusti. Pantaslah jika ia dijuluki sebagai penyuluh pertanian sukarela.
 Gusti pun tak ragu membantu petugas penyuluh lapangan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Kabupaten Karangasem.

Selain itu, Gusti juga mengajak "berdamai” dengan hama tikus. Pertanian memang tak bisa lepas dari cuaca dan hama. Gusti pun memiliki jurus sendiri. "Saya tak pernah mengajak petani lainnya membunuh tikus. Tapi, mari kita usir saja tikus itu dengan tikus,” ujarnya serius.

Ia menangkap satu tikus dan diwarnai dengan cat merah menyala. Selanjutnya tikus berwarna merah itu pun dilepas di lahan. Hasilnya, tikus asli menjadi takut mendekati lahan.
Sementara problem ketersediaan air, mau tak mau menjadi kendala serius di musim kemarau. Untuk itu, petani pun tak ragu untuk membeli air secara bersama-sama untuk menyirami tanaman mereka.
Kiprah Gusti pun makin bersinar setelah ia dipercaya mengelola subterminal agribisnis (STA) pada 2004 oleh Kementerian Pertanian bernama Manik Mekar Nadhi. Subterminal agribisnis di Desa Palak ini memiliki keunikan karena berada di antara para petani dan dikelola secara mandiri.
Jumlah kelompok di STA ini ada 40, dengan rata-rata 25 orang per kelompok. Mereka mempekerjakan 10 orang sebagai tenaga pengemasan hingga pengiriman.
 Gusti pun kini memiliki dua mobil bak terbuka dan satu mobil boks berpendingin bantuan pusat. Tidak mengherankan jika berbagai penghargaan pun berdatangan.

Apalagi, kualitas sayuran produk Gusti mendapatkan sertifikasi. Semenjak kebangkitan pertanian di desanya, warga pun menuai hasilnya. Panen kualitas super serta kualitas biasa pun menghasilkan harga yang baik saat produk itu dipasok ke pasar-pasar tradisional.

Empat tahun terakhir, jenis-jenis sayuran yang ditanam pun bisa menembus pasar swalayan terkenal di Bali. Rata-rata hasil setoran panenan dengan kualitas super kelompok STA Manik Mekar Nadhi seperti cabai sekitar 200 kilogram, bisa terkirim ke swalayan itu setiap hari.

"Petani di sini (Rendang), semua mandiri. Mereka paham benar bagaimana memilah dan mengemas sayuran kualitas super dengan kualitas biasa,” ujar Gusti.

Gusti lahir dari keluarga petani. Ia tinggal bersama orangtuanya di lahan transmigrasi Lampung. Bangku sekolah yang dinikmati hanya sampai kelas III SD. Selanjutnya ia kembali ke Bali dan melanjutkan sekolah di pendidikan luar sekolah melalui program paket belajar yang ada di desanya. Itu pun dilakukan sambil ia tetap bekerja.

Kini ia meregenerasi pemuda di desanya agar bersedia melestarikan pertanian. Meski ia tahu alih fungsi lahan terus mengancam lahan pertanian di Pulau Dewata ini. Anak keduanya sekarang sedang belajar ilmu pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Namun, ia pun tak pernah lelah mengajak pemuda di desanya agar mau angkat cangkul.
"Biarlah waktu berjalan. Saya tetap ingin hidup sebagai petani. Saya ingin semua orang tahu, petani Bali itu masih ada dan berjaya bersama pariwisata. Mereka juga bisa sejahtera karena jerih payah. Petani Bali bisa bersaing. Kami ada dan berusaha tetap ada,” kata Gusti.

I Gusti Ngurah Alit
♦ Lahir:  Besakih, 31-12-1961
♦ Istri:  I Gusti Ayu Artini (48)
♦ Anak: 
 1.  I Gusti Ayu Kurniawati (26)
 2.  I Gusti Ngurah Agus Kurniawan (24)
 3.  I Gusti Ngurah Panji Alit Putra (15)
♦ Pengalaman:  Peserta sejumlah pelatihan dan temu usaha seperti di Jakarta, Bogor.
♦ Penghargaan di antaranya :
 1. Petani Teladan Tingkat Nasional Tahun 2009
 2. Kreativitas dan Inovasi Masyarakat Silpakara Nugraha Anugrah Riset dan Teknologi Tahun 2012
 3. Subterminal Agribisnis (STA) Berprestasi dari Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Tahun 2014
 4. Pemangku Ketahanan Pangan Adhikarya Pangan Nusantara Tahun 2013