Secara singkat fallacies dapat diartikan sebagai kegagalan dalam pembentukan pola pemikiran atau pemaknaan yang logis. Atau dalam kata lain suatu pernyataan yang terlihat “benar” namun masih memiliki kesalahan dalam pola pikir dapat dikategorikan sebagai suatu fallacy. Mengapa kita perlu mempertimbangkan untuk memahami fallacy? Jawabannya tidak lain adalah untuk menghindari kita dari kesalahan menyusun logika. Terlebih dalam kaitannya dengan penelitian dan publikasi ilmiah. Kesalahan dalam penyusunan premis (baik mayor maupun minor) akan berakibat pada kesalahan dalam melakukan generalisasi (penarikan konklusi). Kesalahan dalam penarikan konklusi dapat mengakibatkan lemahnya fondasi pemikiran. Dan lemahnya fondasi pemikiran mengakibatkan runtuhnya suatu teori. Berikut ini adalah tulisan mengenai fallacies yang dirangkum dari bab empat (4) buku berjudul Introduction to Logic karangan Irving et al, edisi 14 tahun 2014.
Contoh pernyataan yang memiliki konstruksi pemikiran yang benar, sehingga menghasilkan konklusi yang benar pula.
Semua pegawai Binus wajib mengikuti tes ujian psikotes sebagai standar ujian masuk pegawai. (premis mayor)
Toni adalah pegawai Binus. (premis minor)
Maka Toni (dapat dipastikan) pernah mengikuti tes ujian psikotes sebelum ia masuk menjadi karyawan Binus. (konklusi)
Dalam artian konstruksi pernyataan saling terhubung/berkaitan dengan fakta (kenyataan) dan menghasilkan konklusi atau simpulan yang logis (valid).
Contoh pernyataan yang terlihat “benar”.
Semua mahasiswi jurusan sastra berwajah cantik. (premis mayor)
Mirna adalah mahasiswi jurusan sastra. (premis minor)
Maka Mirna berwajah cantik. (konklusi)
Dalam hal ini konstruksi pernyataan dan fakta terlihat benar dan memang tidak salah. Namun penarikan kesimpulan masih menimbulkan pertentangan. Di mana hal yang menjadi pertentangan adalah digunakannya pendapat umum (stereotype) sebagai dasar pemikiran premis mayor. Maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah fallacy. Karena baik argumentasi atau fakta secara individual masih memiliki kesalahan tipikal (khusus) pada proses penempatan logika.
Klasifikasi dari Fallacies
Ada beragam jenis fallacy. Irving et al (2014) membagi beberapa macam fallacy ke dalam kategori tertentu agar dapat mempermudah para pengguna logika dalam mengidentifikasi dan menghindari kesalahan konstruksi pemikiran. Adapun kategori fallacy tersebut adalah:
Fallacies of Relevance (disimbolkan dalam R)
Fallacies of relevance adalah tipe fallacy yang paling sering ditemui. Di mana fallacy tipe ini adalah tipe fallacy yang memiliki pernyataan atau argumentasi yang tidak sesuai dengan konklusinya. Tipe fallacy jenis ini seringkali digunakan oleh para peneliti yang senang “memaksakan” sesuatu pernyataan agar terlihat logis. Ada tujuh fallacy tipe relevance ini, diantaranya: (R1) The appeal to the populace, (R2) The appeal to the emotion, (R3) The red herring, (R4) The straw man, (R5) The attack on the person, (R6) The appeal to force, (R7) Missing the point (irrelevant conclusion).
·
R1. The appeal to the populace (Argumentum
ad Populum) : fallacy yang muncul oleh karena
konklusinya mengacu pada anggapan yang bersifat popular. Argumen R1 biasanya
sering terdapat pada suatu produk iklan. Contoh: Semua perokok selalu
diidentikan dengan pria yang jantan. Apabila ada seorang pria tidak merokok,
menurut anggapan popular (umum) pria tersebut tidaklah jantan.
·
R2. The appeal to the emotion (appeal
to pity) : fallacy yang timbul dari argumentasi
pemikiran yang bersifat mengasihani, bermurah hati, ketidak-tegaan atau terkait
dengan hati nurani. Argumen R2 biasanya sering terjadi pada kasus-kasus
peradilan hokum. Contoh: Semua pelaku pencurian wajib dihukum penjara (ditindak
secara pidana). Mak ijah yang berumur 70 tahun mengambil sebuah buah mangga
yang jatuh dari pohon tetangga tanpa izin. Maka Mak ijah dapat diklasifikasikan
sebagai seorang pencuri dan wajib dihukum penjara.
·
R3. The red herring : fallacy
yang argumentasi sebagai pusat perhatian (focus) secara sengaja dialihkan jauh
dari permasalahan yang sedang dibahas. Tujuannya adalah untuk membingungkan
orang. Argumen R3 lebih sering digunakan dalam politik pencitraan. Contoh: Mr. Rustam
Falih Akbar bin Andi Akbar adalah orang terkaya nomor 1 di Indonesia. Hutang
Mr. Rustam adalah 10 Triliun rupiah (fakta). Namun, oleh karena Mr. Rustam
adalah orang terkaya di Indonesia dan berbagai kampanye di media menyatakannya
demikian maka orang-orang awam sudah pasti berpikiran: “apabila melakukan investasi
di perusahaan Mr. Rustam akan aman-aman saja tanpa gangguan. Karena Mr. Rustam
adalah orang terkaya nomor 1 di Indonesia”.
·
R4. The straw man : fallacy yang argumentasinya selalu menempatkan
posisi “lawan” sebagai posisi yang ekstrim, mengancam, atau tidak masuk akal
daripada kenyataan atau fakta yang sebenarnya terjadi. Argumen R4 sering
terdapat pada kasus kejahatan yang sengaja ditutup-tutupi untuk melindungi
kepentingan tertentu. Contoh: Militer yang menyerang penduduk sipil dikategorikan
sebagai kejahatan perang. Negara X menjatuhkan bom nuklir di
Negara Y di Kota Z. Seharusnya Negara X dapat dikategorikan sebagai penjahat
perang. Karena secara membabibuta melakukan pemboman di daerah sipil.
Menggunakan alasan “World at War” dengan pemikiran fallacy tipe R3 di mana
Negara A (sebagai lawan) adalah si pembuat onar dan demi
antisipasi ancaman dari pihak Negara A yang mungkin muncul di kemudian hari,
maka Negara X dapat lolos dari logika (yang seharusnya) konklusi “penjahat
perang”.
·
R5. Argument against the person (Argumentum
ad Hominem) : fallacy yang argumentasinya menyerang
pihak (orang) tertentu yang sedang memegang peranan. Tujuannya adalah untuk
menjatuhkan citra pihak tertentu dengan argumentasi yang tidak didasari fakta
yang jelas. Contoh: Semua orang yang memiliki senjata pemusnah massal adalah
teroris dan harus dihancurkan. Mr. X memiliki senjata pemusnah massal (klaim
Mr. Y). Maka Mr. X adalah teroris dan harus dihancurkan. (apakah benar Mr. X
benar-benar memiliki senjata pemusnah massal? Atau hanya klaim Mr. Y ?)
·
R6. The Appeal to Force (Argumentum
ad Baculum) : fallacy yang argumentasinya dibekali
oleh kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut bisa berasal dari pihak-pihak
yang memiliki kekuatan untuk “memaksa”. Contoh pada pemilu presiden Republik
Indonesia zaman lalu, di mana semua orang memilih Partai X terutama untuk
keluarga dari pegawai pemerintahan. Alasan orang memilih Partai X adalah karena
Partai X adalah partai yang sempurna dan tidak ada partai lain yang sebaik
Partai X.
·
R7. Missing the Point (Ignoratio
Elenchi) : fallacy yang argumentasinya tidak
terkonstruksi kuat, sehingga ketika ada bantahan dari argumentasi lain maka
argumentasi awal menjadi lemah dan malah mendukung konklusi yang berbeda
daripada mendukung argumentasi itu sendiri. Atau dengan kata lain premis-premis
awal terbantahkan sehingga menghasilkan konklusi yang mengikuti alur
argumentasi si pembantah. Contoh: sering terjadi ketika sidang skripsi atau
tesis mahasiswa. Di mana banyak argumentasi-argumentasi dari mahasiswa yang
berhasil dibelokkan oleh penguji dan akhirnya semua konklusi menjadi tidak ada
esensinya.
Fallacies of defective induction (disimbolkan dalam D)
Meskipun konstruksi premis dalam tiap argument terlihat memiliki relevansi atau keterkaitan dengan konklusinya, namun kerangka pemikirannya terlalu lemah dan tidak efektif. Kerangka pemikiran yang lemah akan menghasilkan konklusi yang tidak akurat pula, hal tersebut dapat menjadi backfire. Ada empat kategori fallacy pada tipe ini, diantaranya: (D1) The argument from ignorance, (D2) The appeal to inappropriate authority, (D3) False cause, (D4) Hasty generalization.
·
D1. The argument from ignorance
: fallacy yang argumentasinya terlihat
benar oleh karena belum ada pembuktian mengenai kesalahan dari argumentasi
tersebut. Atau argumentasi terlihat salah oleh karena belum ada pembuktian
mengenai kebenaran dari argumentasi tersebut. Contoh: pada zaman geosentris,
teori bumi sebagai pusat tata surya oleh Ptolemy terlihat benar. Sampai ketika
teori Copernicus tentang matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris)
barulah teori geosentris terpatahkan.
·
D2. The appeal to inappropriate
authority : fallacy yang argumentasinya terlihat atau dirasa benar
oleh karena seorang ahli mengatakan bahwa argumentasi tersebut adalah benar.
Contoh: sampai saat ini kebanyakan peneliti selalu mengatakan bahwa penelitian
dengan metode kuantitatif harus menarik pembuktian hipotesis. Sampai pada
temuan-temuan studi yang dirangkum oleh J. W. Cresswell (2009) dalam
bukunya, ia mengatakan bahwa sah-sah saja penelitian kuantitatif tidak harus
menarik kesimpulan oleh karena “mother nature” dari penganut paham positivis
yang selalu menyangsikan produk olahan statistic. Bahkan Raya Fidel (2008)
dalam artikel jurnalnya menyatakan bahwa setiap penelitian yang memiliki produk
berupa angka dapat disebut sebagai penelitian kuantitatif.
·
D3. False cause : fallacy yang argumentasinya menempatkan suatu
penyebab yang bukan penyebab sebenarnya seolah-olah menjadi suatu akibat
terjadinya permasalahan tertentu. Contoh: Kebakaran pasar-pasar tradisional di
daerah Jakarta selalu disebabkan oleh hubungan arus pendek atau korsletting
listrik. Apakah penyebab lain kebakaran seperti perbuatan sabotase tidak
dipertimbangakan sebagai argumentasi premis mayor?
·
D4. Hasty generalization :
fallacy yang argumentasinya berdasar pada sejumlah kecil kejadian atau fakta
tetapi berani digeneralisasikan sebagai akar masalah atau penyebab dari suatu
fenomena. Atau dengan kata lain fakta yang belum valid sudah dijadikan dasar
generalisasi. Contoh: Jumlah penduduk miskin di Indonesia menurut statistic
tahun 2013 sangat berkurang dibandingkan dengan statistic tahun 2004 jika ditelaah
dari jumlah kepemilikan kendaraan bermotor. Salah satu hal yang mungkin dapat
menjadi pertanyaan (kontroversi) adalah: “Berapa banyak kuota
kepemilikan kendaraan bermotor oleh penduduk yang diperbolehkan oleh
pemerintah? Dan siapakah yang disurvei?” Apakah yang disurvei adalah keluarga dengan anggota keluarga
sebanyak ayah, ibu, dan seorang anak dengan kepemilikan empat mobil dan tiga
sepeda motor?
Terlalu banyak asumsi (fakta yang tidak berdasar) pada premis pernyataan dapat memicu kegagalan dalam penarikan kesimpulan. Di mana kategori tipe fallacy jenis ini diantaranya: (P1) Accident, (P2) Complex question, (P3) Begging the question.
·
P1. Accident : fallacy yang
argumentasinya hanya berdasar pada desas-desus. Di mana argumentasinya gagal
dijadikan sebagai produk konklusi yang kuat. Contoh: Menurut kabar yang
disampaikan secara oral dari beberapa orang teman mahasiswa di Amerika Serikat
(AS), apabila kita hidup di AS maka “The American Dream” dapat terwujud dan
selamat tinggal hidup miskin. Apabila argumentasi tersebut dijadikan sebagai
landasan pemikiran maka dapat menghasilkan generalisasi konklusi yang amat
sangat parah.
·
P2. Complex question : fallacy
yang argumentasinya berdasar pada premis-premis yang sifatnya mengarahkan
kepada suatu hal tertentu didasari dengan motivasi untuk membuktikan sesuatu.
Contoh: orang A: Hai B, apakah kamu mencuri dompet milik C?. Orang B: saya
tidak mencuri dompet milik C. orang A: Tetapi pada saat itu hanya anda seorang
yang berada di ruangan dan berpotensi mengambil dompet milik C.
·
P3. Begging the : fallacy yang
konklusinya merupakan suatu argumentasi yang telah dinyatakan atau diasumsikan
terlebih dahulu. Contoh: semua pria perokok adalah jantan. Sebab hanya
pejantanlah yang berani menantang bahaya. Dalam konteks pria perokok yang
dikonsepkan sebagai pejantan adalah pria yang berani mengambil resiko untuk
menghisap rokok yang notabene memiliki kandungan zat berbahaya.
Penggunaan frasa atau kata yang memiliki makna ganda, dapat memicu fallacies of ambiguity. Di mana kata-kata bermakna ganda dapat diartikan sebagai kata yang memiliki struktur sama tetapi tidak memiliki pengertian yang dapat dimengerti secara universal. Ada lima kategori pada fallacies tipe ini, diantaranya: (A1) Equivocation, (A2) Amphiboly, (A3) Accent, (A4) Composition, (A5) Division.
·
A1. Equivocation : fallacy yang
argumentasinya secara sengaja menggunakan suatu kata atau frasa yang memiliki
dua atau lebih pemaknaan. Contoh: Jangan pernah mencari masalah dengan orang
“pangkat”. Sebab orang “pangkat” memiliki kekuatan yang kuat di masyarakat.
Siapakah orang “pangkat” yang dimaksud? Apakah tentara atau polisi? Pangkat
seperti apa yang jangan sampai kita cari bermasalah dengannya? Kekuatan yang
kuat adalah kekuatan yang seperti apa? Kuat badan (fisik) atau kuat jiwa
corsa-nya?
·
A2. Amphiboly : fallacy yang
argumentasinya berdasar pada premis-premis yang premisnya sendiri tersusun atas
beberapa kata atau frasa yang memiliki beberapa interpretasi. Sehingga hal
tersebut dapat memiliki konklusi dengan beragam interpretasi. Contoh: Dr.
Sallick mendonasikan sejumlah uang, bersama istrinya, Gloria, $6.5 juta, kepada
Queens College untuk pusat-pusat penelitian. “Gloria” adalah nama sandi untuk
pengurangan pajak di Amerika.
·
A3. Accent : fallacy yang
argumentasinya mengandung premis-premis yang berdasar pada sebuah penekanan
dari beberapa kata. Tetapi konklusinya berdasar pada penekanan lain dari
beberapa kata tersebut (yang sama) sehingga menghasilkan pemahaman makna yang
berbeda. Atau dengan kata lain A3 adalah jenis fallacy yang ada dalam
permasalahan pengucapan atau aksen atau pronouncication. Contoh: Pada liga
premier Inggris, pertandingan yang diadakan satu hari setelah hari natal atau
26 Desember adalah “Boxing Day”. Boxing Day yang dimaksud apakah hari pemberian
hadiah? Atau hari pertandingan (sepakbola)?
·
A4. Composition : fallacy yang
argumentasinya berdasar pada penggunaan fakta sebagian yang digunakan sebagai
dasar untuk menginterpretasi fakta secara keseluruhan. Atau dalam kata lain
argumentasinya bermakna khusus-umum. Contoh: Semua mahasiswa jurusan teknik
informatika pasti pintar dalam segala hal mengenai programming. Maka semua yang
berhubungan dengan programming dapat dilakukan oleh mahasiswa teknik
informatika. Kemampuan programming membutuhkan spesialisasi, tidak selalu
seorang mahasiswa teknik informatika yang menguasai kemampuan web programming
dapat menguasai machine programming.
·
A5. Division : tipe fallacy
yang merupakan kebalikan daripada fallacy tipe A4 atau composition. Atau dengan
kata lain, A5 adalah tipe fallacy umum-khusus. Contoh: Semua kucing adalah
karnivora. Anggora adalah jenis kucing. Maka anggora adalah karnivora. pada contoh
tersebut argumentasi dan konklusinya adalah valid. Namun pada contoh lain,
seperti: Kucing sering ditemui di jalanan. Anggora adalah jenis kucing. Maka
Anggora dsering ditemui di jalanan. Argumentasi beserta dengan konklusinya
tidak valid karena pada kenyataannya Anggora adalah jenis kucing peliharaan
yang berharga mahal.
Pada pendahuluan di atas saya menuliskan bahwa lemahnya fondasi pemikiran akan mengakibatkan runtuhnya suatu teori. Hal tersebut adalah benar, di mana menurut Suriasumantri (2005) runtuhnya suatu teori dan digantikan dengan suatu teori yang baru adalah cara kerja dari evolusi ilmu pengetahuan. Dapat dibayangkan ketika Louis Pasteur tidak pernah berusaha mematahkan teori Generatio spontanea dari Aristoteles. Mungkin sampai saat ini kita (umat manusia) akan selalu beranggapan serangga lalat adalah produk dari daging mati.
Sumber :
Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2014). Introduction to Logic. Essex: Pearson Education Limited.
Creswell, J. W. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. California, USA: Sage Publications, Inc.
Fidel, R. (2008). Are we there yet?: Mixed methods research in library and information science. Library & Information Science Research, 30, 265-272.
Suriasumantri, J. S. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar