Kamis, 23 Oktober 2014
Sumber : Harian Kompas
Penulis Artikel : Maria Hartiningsih & Cokorda Yudistira
Oleh : Dwi Aulia Syifayantie (1801440950)
http://www.suryani-institute.com/wp-content/uploads/2011/06/Elderly-3.jpg
“HEAVEN!” Begitu komentar banyak orang tentang Bali. Sisi gelap lenyap di
permukaan panorama surgawi. Tak terlalu jauh dari ingar-bingar kawasan wisata,
penderita gangguan jiwa berat dikucilkan di ruang-ruang sempit dan meruakkan
anyir.
“Telah begitu
lama mereka dengan gangguan jiwa berat dibiarkan tanpa penanganan,” tutur Prof
Dr dr Luh Ketut Suryani, SpKJ (K) (70).
Suryani menolak
anggapan tentang ketidakpedulian keluarga pasien. “Uang mereka sudah habis setelah
berulang kali ke bali dan ke rumah sakit jiwa,” jelasnya. “Masyarakat juga
protes karena orang dengan gangguan jiwa berat bisa mengamuk kapan pun.
Akhirnya pihak keluarga melakukan yang terbaik menurut mereka agar bisa bekerja
lagi.”
Berdasarkan
survei Suryani Institute for Mental Health (SIMH) tahun 2008 di Kabupaten
Karangasem, Kabupaten Buleleng, dan Kecamatan Denpasar Timur, diperkirakan
7.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat, 300-an dipasung. Jumlah itu
menjadi 9.000 pada tahun 2010, atau 2,3 per 1.000 penduduk.
Memang jumlah
itu lebih rendah daripada rata-rata nasional 4,6 per 1.000 penduduk, atau
sekitar satu juta orang. Namun, Bali adalah tujuan wisata dunia sehingga
perhatian internasional tercurah di sini. Dari 18.000 orang dengan gangguan
jiwa berat yang dipasung di Indonesia, 350 orang berada di Bali.
Disangkal
Namun,
kenyataan muram itu banyak disangkali, bahkan ketika foto-fotonya dipapar dalam
Pameran Foto Internasional “Terpasung di Pulau Surga: Air Mata Lensa, Membaca
Mereka yang Terpasung”, beberapa waktu lalu di Denpasar.
“Orang ini
sudah 20 tahun dipasung,” ujar Suryani, menunjuk foto dalam pameran yang
dimaksud untuk penyadaran dan pendidikan. ”Ini di depan puskesmas di Krobokan.”
Seluruh upaya
Suryani berawal dari survei tentang bunuh diri di Bali. “Hasil survei kami
tahun 2005, hanya 10 kasus bunuh diri, itu pun jarang memakai tali. Namun,
setelah bom Bali tahun 2006, ada 180 kasus gantung diri.”
Kasus bunuh
diri terbanyak disebabkan gangguan jiwa berat. Penelitian Suryani dan tim
memperlihatkan beban ekonomi menjadi penyebab utama. “Seperti digerakkan suatu
kekuatan besar, orang berlomba menjual tanah untuk upacara yang megah. Dulu,
ada kesadaran, para leluhur dan dewa menerima hanya yang datang dengan hati.”
Survei itu dia
lanjutkan. Berdasarkan penelitian doktoralnya, Suryani memperkirakan jumlah
orang dengan gangguan jiwa sekitar 50 orang. Ternyata, “Di Karangasem kami
temukan 855 orang dengan gangguan jiwa berat. Di Buleleng dan Denpasar
ditemukan 120 orang dari 120.000 penduduk,” kata Suryani yang waktu penelitiannya
pun makin lama dari dua bulan menjadi 10 bulan.
Suryani menolak
konstruksi kesehatan jiwa dalam teori-teori sempit dalam kerangka klinis. Rumah
sakit jiwa tidak menyelesaikan persoalan besar di balik fenomena gangguan
kejiwaan.
“Hospital based
seharusnya sudah ditinggalkan,” ujarnya. “Community based treatment lebih
efektif. Kami mendidik masyarakat, pasien, dan keluarga untuk mengenali tanda
dini akan kumat. Selain itu, on call tetap jalan, obat seminimal mungkin karena
pasti ada efek samping, kecuali dalam keadaan gawat.”
Perjuangan keras
Upayanya
mendapatkan perhatian pemerintah setelah hasil survei disampaikan tak
membuahkan hasil. “Mereka sebatas terkejut,” kenang Suryani. “Pemerintah
mendiskriminasi gangguan jiwa. Program lebih terpusat pada penyakit fisik.”
Dengan bantuan
dana Rp 1 miliar dari Gubernur Bali Mangku Pastika, tahun 2009 Suryani dan tim
membantu 326 orang, dengan lama sakit yang berulang antara lima sampai 40
tahun.
“Sebagai
psikiater, saya lihat hasilnya mengejutkan karena 31 persen pasien sembuh tanpa obat, 3 persen tak ada perbaikan, dan 66 persen membaik, tetapi masih perlu
obat,” katanya.
Namun, harapan
gubernur akan puas pupus. “Beliau bilang harus memotong dana itu karena banyak
komentar negatif. Masak Suryani yang hanya mengajarkan nyanyi-nyanyi dan
meditasi mendapatkan bantuan sebesar itu?” kata Suryani mengenang.
Sebulan
kemudian dana dipotong. “Ternyata dipotong 90 persen,” ungkapnya. “Saya hanya
bisa menangani yang sangat serius, tetapi enam bulan kemudian sebagian besar
kambuh.”
Pertengahan
tahun 2010 Suryani bangkit. “Saya percaya Tuhan dan leluhur di Bali akan
membantu saya,” ujarnya.
Ia melanjutkan
pengobatan gratis dengan subsidi silang, ditambah sumbangan kolega di luar
negeri. “Saat itu yang butuh bantuan menjadi 684 orang. Warga berani
menyampaikan kondisi keluarganya dan berharap mendapat bantuan penanganan dan
kesembuhan.”
Dari 684 pasien
yang ditangani, 37 persen sembuh tanpa obat, 62 persen membaik, tetapi masih
perlu obat, dan 1 persen tak ada perubahan. Antara tahun 2012 sampai Agustus
2013 tersisa 346 pasien. Hasil evaluasinya, 58 persen sembuh tanpa obat dan 32
persen sembuh dan membaik dengan obat.
Kontroversial
Suryani dikenal
sebagai sosok kontroversial. Ia berani melawan apa pun karena punya pijakan
kuat yang didasari penelitian panjang. Metodenya yang dulu dicibir kini
terjelaskan secara ilmiah, khususnya tentang biopsikospirit-sosio budaya dan
hipnosis, yang sempat membuat dia dituduh sebagai dukun. Ia menolak peraturan
menangani pasien hanya di ruang praktik.
Suryani yang
mengambil spesialisasi kedokteran jiwa karena ingin mempelajari diri sendiri
menuturkan, pengalamannya melakukan memory reframing ingin ia tularkan kepada
orang lain.
“Itu yang
menyebabkan saya sangat menghargai ibu yang mendidik dengan penuh disiplin saat
saya masih kecil,” kenang Suryani yang menjadi dokter dengan kemahirannya
menjahit baju.
Ia memilih
teori memori karena memberi harapan. Diyakini, gangguan kejiwaan bisa dicegah
kalau janin berada dalam rahim ibu yang sehat dan bahagia, ditambah pola asuh
10 tahun pertama.
Oleh sebab itu,
anak harus tumbuh dalam kasih sayang, punya rasa aman, dihargai, dan memperoleh
cerita sebelum tidur. “Kurikulum pendidikan harus diubah supaya anak bisa
berpikir merdeka,” katanya.
Suryani menolak
anggapan gangguan jiwa sebagai kutukan. I Putu Sutara (42) asal Sidemen,
Karangasem, misalnya, tampil percaya diri membaca kakawin (syair Jawa Kuno)
dalam pembukaan pameran. Ia tersenyum saat bersalaman dengan Gubernur Mangku
Pastika di depan foto dirinya saat dipasung.
Luh Ketut Suryani
Ø Lahir:
Singaraja, Bali, 22 Agustus 1944
Ø Suami: Prof Dr
dr Tjokorda Alit Kamar Adnyana, SpFK
Ø Anak: 6 dan 16
cucu
Ø Pencapaian:
Pernah memegang berbagai jabatan, menjadi anggota organisasi dokter dan ahli
jiwa dalam dan luar negeri. Ia mendapatkan lebih dari 10
penghargaan, termasuk untuk membebaskan dan mengobati pasien gangguan
jiwa yang dipasung.
Ø Karya buku:
Lebih dari 20 buku dan puluhan tulisan dalam antologi dan jurnal internasional
tentang keterkaitan spiritualitas, kebudayaan, agama, kesehatan mental, pola
asuh dan perubahan sosial. Ia memberi bimbingan meditasi dan relaksasi gratis
untuk masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar