STANDAR-STANDAR BERPIKIR KRITIS
Standar 1: Kejelasan (clarity)
Supaya bisa bersikap kritis terhadap pandangan atau pendapat orang lain, kita harus mendengar atau membaca pendapat orang itu. Ini yang seringkali bermasalah. Tidak jarang kita menemukan betapa pendapat orang tersebut sulit dimengerti. Sebabnya bisa macam-macam. Ada orang yang sulit mengemukakan pendapatnya karena tidak terampil dalam berkomunikasi. Ada orang yang memang bodoh, tetapi yang lainnya lebih karena kemalasan atau ketidakpeduliaan. Dengan kata lain, kejelasan (clarity) dalam mengemukakan gagasan atau pendapat menjadi salah satu standar berpikir kritis.
Coba simak contoh berikut dan kemudian beri komentar atau diskusikan dengan teman-temanmu. Apakah penulis sudah cukup jelas mengemukakan pendapatnya?
“Penyebab gizi buruk pada balita sangat kompleks. Penyebab langsung, anak tidak mendapat gizi seimbang, yaitu Air Susu Ibu (ASI) saat umur 0-6 bulan, dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang memenuhi syarat saat umur 6-24 bulan. Penyebab langsung lain adalah infeksi, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan campak. Kedua sebab langsung ini saling memperkuat, didorong oleh faktor kemiskinan, kurangnya pendidikan, lingkungan tidak bersih, dan banyaknya anak dengan jarak kelahiran terlalu dekat. Faktor ini dapat menyebabkan anak tidak diasuh dengan semestinya, seperti tidak diberi ASI, tidak dapat menyediakan MP-ASI yang baik, dan tidak dibawa ke posyandu atau pelayanan kesehatan. Keadaan ini akan makin buruk apabila pelayanan kesehatan ibu dan anak di puskesmas dan posyandu tidak baik, sehingga tidak semua anak diimunisasi, pencegahan dan penanggulangan penyakit diare lambat dilakukan, tidak ada penyuluhan kebersihan, kesehatan umum, dan penyuluhan gizi” (Sihadi, Strategi Penanggulangan Gizi Buruk. Dalam Majalah CDK, 173 / vol. 36 no. 7, November–Desember 2009, hlm. 526).
Apakah menurut kamu Sihadi mengemukakan gagasan atau pendapatnya secara jelas ? Jika kamu berpendapat bahwa beberapa pemikiran Sihadi masih sulit dimengerti, coba tunjukkan bagian-bagian tersebut. Jika kamu diberi kebebasan untuk memformulasikan ulang pemikiran Sihadi tersebut, coba tunjukkan rumusan Anda yang jelas dan mudah dimengerti.
Untuk mencapai kejelasan berpikir dalam berpikir kritis, seseorang dituntut untuk tidak hanya memperhatikan kejelasan bahasa, tetapi juga kejelasan pemikiran itu sendiri. Kejelasan bahasa berhubungan dengan bagaimana kita memakai bahasa sesuai kaidah kebahasaan dalam mengemukakan pemikiran kita. Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan pemikiran. Jika kaidah-kaidah kebahasaan tidak diperhatikan atau tidak ditaati, kita akan gagal memanfaatkan bahasa sebagai alat menyampaikan gagasan. Selain itu, kejelasan juga termasuk kejelasan isi pikiran. Isi pikiran seseorang akan sulit ditangkap dan dimengerti jika seseorang menyimpulkan bahwa gizi buruk disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya ASI dan Makanan Pendamping ASI tetapi mencampuradukannya dengan buruknya pelayanan kesehatan.
Standar 2: Presisi (precision)
Ketepatan (presisi) dalam mengemukakan pikiran atau gagasan sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang membiasakan dan melatih dirinya dalam mengobservasi sesuatu dan menarik kesimpulan-kesimpulan logis atas apa yang diamatinya tersebut. Kemampuan presisi juga berhubungan dengan apa yang diistilah dengan close attention. “Really valuable ideas can only be had at the price of close attention,” demikian Charles S. Pierce.
Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak bidang yang membutuhkan presisi. Misalnya dalam bidang kedokteran, teknik, arsitektur, dan sebagainya. Dalam pemikiran kritis pun dibutuhkan ketepatan. Kemampuan mengamati dan menentukan apa yang sebenarnya sedang terjadi atau sedang dihadapi membutuhkan kemampuan presisi ini. Misalnya, Anda seorang dokter menghadapi pasien dengan gejala-gejala tertentu. Anda harus dengan tepat mengatakan jenis penyakit apa yang diderita pasien tersebut plus alasan-alasannya.
Standar 3: Akurasi (Accuracy)
Keakuratan putusan kita sangat ditentukan oleh informasi yang masuk ke dalam pikiran kita. Jika kita menginput informasi yang salah atau menyesatkan, maka jangan heran kita menghasilkan suatu putusan atau kesimpulan yang salah pula. Misalnya, seorang pemimpin perusahaan memutuskan memecat karyawannya karena mendengar informasi yang salah dari karyawan lain bahwa karyawan yang dipecat itu melanggar kode etik perusahaan. Seharusnya sang pimpinan memanggil dan menggali sendiri informasi dari karyawan tersebut dan informasi-informasi lainnya yang terkait. Meskipun Anda seorang yang sangat pintar, Anda tetap bisa mengambil putusan yang keliru jika informasi yang Anda dapatkan keliru.
Orang yang selalu berpikir kritis tidak akan gegabah dalam mengambil putusan jika informasi-informasi yang dibutuhkan belum mencukupi. Mereka yang terbiasa berpikir kritis tidak hanya menjunjung tinggi dan memberikan penilaian pada suatu kebenaran. Mereka juga memiliki passion yang mendalam tentang keakuratan dan informasi-informasi yang tepat. Socrates mengatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan tidak pantas untuk dihidupi tampaknya tepat untuk menggambarkan kemampuan berpikir kritis yang satu ini.
Standar 4: Relevansi (Relevance)
Yang dimaksud di sini adalah bagaimana kita memusatkan perhatian pada informasi-informasi yang dibutuhkan bagi kesimpulan berpikir kita, dan tidak membiarkan pikiran dikuasai, dikendalikan, atau dialihkan oleh informasi-informasi lain yang tidak relevan. Misalnya, dalam sebuah debat politik mengenai boleh tidaknya menggusur sebuah gedung bersejarah untuk membangun supermarket. Seorang politisi, misalnya, mengalihkan pembicaraan dari substansi permasalahan dengan mengatakan bahwa gedung tua itu temboknya sudah lapuk, catnya sudah mengelupas, dan tidak enak dipandang mata. Gedung tua itu merusak pemandangan kota. Cara berargumentasi seperti ini, jika diikuti hanya akan mengalihkan perhatian dari hal-hal yang substansial ke hal-hal yang sifatnya sekunder dan periferal.
Standar 5: Konsistensi (Consistency)
Apa yang kamu ketahui tentang konsistensi? Mengapa konsistensi penting dalam berpikir kritis? Mencari dan mempertahankan kebenaran menuntut adanya konsistensi sikap, baik dalam upaya terus menerus mencari kebenaran maupun membangun argument-argumen mengenai pengetahuan. Kebenaran tidak pernah dicapai sekali untuk selamanya, dia harus terus dikejar dan diusahakan. Tanpa sikap konsisten dalam mencari kebenaran mustahil memperoleh kebenaran. Demikian pula sikap konsisten dalam membangun argumentasi yang adalah ekspresi pengetahuan subjek mengenai sesuatu. Argumen yang jelas dan terpilah-pilah harus tetap dipertahankan, dan ini langsung memperlihatkan konsistensi dari si subjek yang berpikir kritis.
Ada dua ketidakkonsistenan yang harus dihindari :
Pertama : Inkonsistensi
logis, dalam arti percaya atau menerima sebagai benar suatu materi tertentu
yang tidak benar sebagian atau seluruhnya.
Kedua : Inkonsistensi
praktis, yakni diskrepansi antara perkataan dan perbuatan. Orang yang konsisten
harus memiliki sikap yang mencerminkan apa yang dikatakannya. Hal ini akan
nyata benar dalam pemikiran dan sikap moral.
Standar 6: Kebenaran Logis (Logical Correctness)
Coba pelajari kutipan berikut:
“Kadang-kadang saya terkejut mendengar hujatan dari mereka yang mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang kudus. Misalnya para biarawati yang tidak pernah telanjang ketika mandi. Ketika ditanya mengapa mereka melakukan hal demikian, padahal tidak seorang pun mengintip ketika mereka mandi, mereka menjawab, “ Anda lupa akan Tuhan yang Maha Baik.” Jelas mereka memahami Tuhan sebagai orang yang suka mengintip (Peeping Tom), di mana kemahakuasaan-Nya memampukan Dia untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk mengintip melalui dinding kamar mandi. Cara pandang seperti ini sangat menggangu saya.” (Bertrand Russell, Unpopular Essay (New York: Simon & Schuster, 1950), hlm. 75-76.
Apakah Anda bisa menemukan ketidakbenaran logis dalam kutipan ini? Dari kutipan ini kita bisa merumuskan beberapa premis, antara lain:
1. Allah mampu melihat segala sesuatu
Dari sini para suster menarik kesimpulan secara benar, bahwa:
2. Allah melihat melalui tembok kamar mandi
Meskipun demikian, para suster gagal menarik kesimpulan bahwa:
3. Allah juga melihat apa yang tersembunyi dalam pakaian para suster.
Standar 7: Keutuhan (Completeness)
Ini lebih berhubungan dengan rasa tidak puas pikiran kita ketika mencerna atau memahami suatu pemikiran. Misalnya, kita membaca laporan investigasi koran atau majalah tertentu mengenai kejahatan kera putih (white Collar Crime). Mungkin karena keterbatasan ruang atau data-data, kita sebagai pembaca merasa tidak puas dengan apa yang disajikan. Reaksi pikiran kita ini wajar adanya, karena kita sadar betul, bahwa sesuatu akan menjadi lebih baik jika mendalam dan sebaliknya. Pikiran kita akan mengapresiasi pemikiran-pemikiran yang mendalam lebih dari sekadar basa-basi atau dibuat-buat.
Standar 8: Fairness
Berpikir kritis menuntut kita agar memiliki pemikiran yang fair, dalam arti open minded, impartial, serta bebas distorsi dan praduga. Memang agak sulit menghindari hal-hal demikian dalam pemikiran kita, tetapi kita harus menghindarinya kalau mau bersikap kritis. Kita memang hidup dalam kebudayaan masyarakat yang menyenangi hal-hal bersifat gossip, dugaan, prasangka, stereotype, dan sebagainya yang ternyata sangat menyenangkan dan menghibur. Tetapi kalau kita mau berpikir dan bersikap kritis, maka hal-hal seperti ini harus dihindari. Jika tidak, pemikiran atau argumentasi yang kita bangun tidak akan objektif dan fair.
Berpikir Kritis di Kelas
Kamu sebenarnya sudah mulai berpikir kritis di kelas ketika kamu berdiskusi kelompok dan mengkritik reportase temanmu. Tentu sebagai mahasiswa kamu seharusnya selalu bersikap kritis di kelas. Dunia perguruan tinggi tentu berbeda dengan keadaan ketika kamu masih di SLTA. Berpikir kritis telah menjadi bagian yang mengkonstitusikan jati diri mahasiswa.
Sebenarnya kuliah pemikiran kritis ini bisa membantu meningkatkan keterampilan berpikir kamu. Diharapkan keterampilan dan kemampuan berpikir kritis dan logis bisa meningkatkan performa kamu di kelas. Kalau sebelumnya kamu adalah mahasiswa yang mendengar dan menerima begitu saja apa yang dikatakan dosen atau teman-temanmu, maka sekaranglah saatnya kamu berani berpikir dan mempertanyakan argumentasi dosen atau teman. Dengan kemampuan berpikir kritis, kamu seharusnya bisa:
1. Memahami argumentasi-argumentasi dan keyakinan-keyakinan dosen dan teman-temanmu.
2. Mengevaluasi dan menilai argumentasi dan keyakinan tersebut secara kritis.
3. Membangun dan mempertahankan argument-argumen Anda yang sudah Anda bangun secara meyakinkan.
Tentu sebagai mahasiswa kamu harus mempelajari dan menguasai bidang ilmu tertentu. Apakah kuliah berpikir kritis bisa membantu kamu menguasai bidang keilmuan tersebut? Tentu saja bisa. Memang kuliah logika atau berpikir kritis tidak akan membuat mata kuliah lain menjadi lebih mudah dipahami. Meskipun demikian, kamu akan menyadari betapa pemikiran kritis membantu kamu mempelajari mata kuliah lain dengan perspektif yang lebih terfokus. Berpikir kritis akan memudahkan kamu memahami mata kuliah lain secara lebih mendalam persis ketika kamu memiliki sikap untuk tidak percaya begitu saja pada apa yang dipaparkan, kamu berusaha mencari informasi secara lebih mendalam dan lengkap, kamu mengevaluasi konsistensi logis dari pemikiran-pemikiran yang disajikan, dan sebagainya.
Selain itu, keterampilan berpikir kritis yang kamu miliki akan membantu kamu mengevaluasi secara kritis apa yang sudah kamu pelajari di kelas. Sekali lagi berpikir kritis akan mendorong kamu untuk selalu melihat segala sesuatu dari banyak perspektif dan dari perspektif yang jauh lebih luas. Pemikiran kritis juga memampukan kamu membangun argumentasi atau penikiran sendiri mengenai suatu topik, pemikiran atau pendapat. Misalnya, setelah mempelajari sikap paternalistik dokter dalam menangani pasien atau sikap represif polisi menghalau para demonstran di istana negara, kamu bisa menulis atau mengajukan argumentasi-argumentasimu mengenai peristiwa tersebut.
Berpikir Kritis di Tempat Kerja
Apakah berpikir kritis juga bermanfaat di tempat kerja? Di mana pun juga kamu bekerja dan apa saja profesi atau keahlianmu, berpikir kritis tetap diperlukan. Jika kamu sebagai seorang pimpinan, kamu dituntut untuk memberi instruksi yang jelas, tidak ambigu, dan tidak membingungkan. Dalam berbagai rapat, kamu diharapkan mampu memformulasikan persoalan secara jelas dan runtut. Kamu menilai kinerja karyawan bukan berdasarkan kriteria senang atau tidak senang atau prasangka-prasangka etnis, jender, agama, dan sebagainya, tetapi semata-mata berdasarkan keahlian. Kamu juga memiliki sikap terbuka terhadap kritik dan mau memperbaiki diri.
Demikian pula karyawan biasa. Supaya bisa dimengerti teman atau atasan, kamu harus memiliki sikap kritis. Indikator-indikator berpikir kritis di atas dapat menjadi check list sejauh mana kamu sudah bisa disebut orang yang kritis. Di tempat kerja, kamu akan sulit dipahami jika cara berkomunikasimu mengandung bias, prasangka, sterotip, dan sebagainya. Seluruh laporan kerja kamu juga akan mudah dimengerti jika dikerjakan secara jelas, logis, mengandung alur berpikir tertentu, dan sebagainya.
Berpikir Kritis dalam Kehidupan Sehari-hari
Berpikir kritis juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, berpikir kritis memampukan kita menghindari pengambilan keputusan yang terburu atau gegabah yang akan merugikan diri sendiri. Misalnya, ketika kita memutuskan untuk membeli sesuatu, membangun hubungan perkawinan dengan seseorang, pindah kerja, membangun bisnis, dan sebagainya.
Kedua, berpikir kritis tentu meminkan peran penting dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Sistem politik yang demokratis menjamin kebebasan konstitusional kepada warga negara untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, baik secara lisan maupun tulisan. Bentuknya bisa berupa aksi protes dan demonstrasi, jajak pendapat, tulisan di Koran, pamflet, spanduk, dan sebagainya. Semuanya ini mengandaikan keterampilan berpikir kritis.
Ketiga, kuliah pemikiran kritis atau logika juga memiliki tujuan pada dirinya sendiri, yakni membuat seseorang menjadi matang secara intelektual. Jika manusia pada umumnya bersikap dogmatis, menerima dan percaya begitu saja pada apa yang dibicarakan atau dikatakan orang, kamu yang mempelajari pemikiran kritis akan memiliki sikap yang berbeda dengan kebanyakan orang tersebut. Kamu akan mempertanyakan segala sesuatu dan berusaha menemukan jawaban yang paling memuaskan keinginan tahu Anda.
KARAKTER SEORANG PEMIKIR KRITIS
Orang yang Kritis
|
Orang yang Tidak Kritis
|
Memiliki dorongan yang kuat untuk menemukan kejelasan, ketepatan
(presisi), keakuratan, dst
|
Sering berpikir dalam cara yang kabur, tidak tepat, dan tidak akurat.
|
Sangat peka terhadap ide, gagasan, kesimpulan yang mengandung egosentrisme,
sosiosentrisme, wishful thinking, dst
|
Sering jatuh ke dalam dan menjadi pendukung setia egosentrisme,
sosiosentrisme, pemikiran relativistik, asumsi-asumsi yang tak-teruji, dan
wishful thinking
|
Sangat menyadari nilai dan manfaat dari berpikir kritis, baik secara
individu maupun secara komunitas
|
Tidak menyadari nilai dan manfaat dari berpikir kritis
|
Jujur secara intelektual dengan dirinya, menyadari hal-hal yang tidak
dimengerti dan menerima kelemahan-kelemahan diri
|
Mengira bahwa dirinya mengetahui lebih dari yang sebenarnya dan
menyangkal keterbatasan mereka.
|
Mendengar dengan pikiran-terbuka pada pandangan atau pendapat yang
berlawanan dan menerima kritik terhadap keyakinan dan asumsi-asumsi mereka
|
Pikirannya bersifat tertutup dan menolak setiap kritik
|
Mendasarkan keyakinan-keyakinannya pada fakta lebih dari kepentingan-diri
atau preferensi pribadi
|
Sering mendasarkan keyakinan-keyakinannya pada preferensi diri atau
kepentingan-diri
|
Sadar akan kemungkinan adanya bias dan praduga yang ikut memengaruhi cara
mereka memahami dunia
|
Tidak atau kurang menyadari bias-bias atau praduga-praduga mereka sendiri
|
Berpikir independen dan tidak takut berbeda pendapat dengan pendapat
kelompok atau masyarakat
|
Cenderung mengikuti saja apa yang dikatakan kelompok atau masyarakat,
mengikuti pendapat atau gagasan orang lain atau kelompok tanpa sikap kritis.
|
Mampu menangkap inti dari suatu isu atau masalah tanpa terperangkap atau
dikacaukan oleh detail-detail yang disajikan
|
Mudah sekali terperangkap dalam detail-detail dan sulit menangkap esensi
dari sesuatu gagasan atau pendapat.
|
Memiliki keberanian intelektual untuk menghadapi dan mengakses
gagasan-gagasan yang benar yang bahkan bertentangan dengan gagasan atau
pendapat mereka sendiri.
|
Takut dan menolak gagasan atau pendapat yang berbeda dengan gagasan,
pendapat, atau keyakinannya.
|
Mengejar kebenaran dan memiliki keinginan tahu yang tinggi terhadap isu
atau masalah
|
Cenderung “cuek” atau acuh tak acuh terhadap kebenaran, tidak punya cukup
cukup rasa ingin tahu.
|
Memiliki daya tahan intelektual dalam mengejar insight atau kebenaran di
tengah-tengah kesulitan atau hambatan
|
Dalam mengejar kebenaran cenderung tidak tahan atau cepat menyerah
terhadap berbagai kesulitan dan hambatan yang muncul.
|
HAMBATAN BERPIKIR KRITIS
1.
Kurangnya informasi yang memadai;
2.
kemampuan membaca yang buruk;
3.
bias;
4.
prasangka;
5.
tahayul;
6.
egosentrisme (pemikiran yang memusat ke diri sendiri);
7.
sosiosentrisme (pemikiran yang memusat ke kelompok);
8.
tekanan kelompok;
9.
konformisme;
10.
provinsialisme;
11.
pikiran sempit;
12.
pikiran tertutup;
13.
tidak percaya pada nalar;
14.
berpikiran relativistic;
15.
sterotip;
16.
asumsi-asumsi yang tak terbukti;
17.
pengkambinghitaman (scapegoating);
18.
rasionalisasi;
19.
penyangkalan;
20.
wishful thinking;
21.
berpikir jangka pendek;
22.
persepsi selektif;
23.
daya ingat selektif;
24.
emosi yang menggebu-gebu;
25.
penipuan-diri (self-deception);
26.
menyelamatkan muka (face-saving);
27.
takut akan perubahan.
Mari kita
mengevaluasi beberapa di antaranya (terutama egosentrisme, sosiosentrisme,
unwarranted assumption and stereotypes, berpikir relativistik, dan wishful
thinking) untuk mendalami dan memahami hambatan-hambatan berpikir kritis.
Egosentrisme
Egosentrisme
adalah kecenderungan melihat dan memahami realitas sebagai yang berpusat pada
diri sendiri. Mereka yang memiliki kecenderungan ini adalah orang-orang yang
menempatkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai mereka sendiri sebagai yang
lebih unggul dibandingkan dengan orang lain.
Egosentrisme
dapat menampakkan diri dalam dua cara, yakni self-interest thinking dan
self-serving bias. Keduanya dapat diuraikan lebih lanjut.
Self-interest
thinking
Self-interest
thinking adalah kecenderungan untuk menerima dan mempertahankan keyakinan yang
cocok atau harmonis dengan kepentingan-diri sendiri. Dapat dikatakan bahwa
setiap kita memiliki kecenderungan ini. Misalnya, para mahasiswa akan menerima
kebijakan kampus yang menguntungkan mereka. Dokter akan mendukung kebijakan
pemerintah atau undang-undang yang tidak membahayakan profesi mereka. Para
karyawan akan langsung menerima kebijakan pimpinan yang menaikkan uang makan
harian mereka, dan sebagainya.
Apa yang salah
dengan kecenderungan pikiran manusia yang satu ini? Jelas self-interest
thinking menghambat kita mencapai pemikiran yang rasional, kritis, dan
objektif. Jika kita berkutat dengan kecenderungan ini, maka setiap kali
berhadapan dengan realitas kita akan berusaha mencari hal-hal yang
menguntungkan diri sendiri terlebih dahulu, dan bukan kebenaran itu sendiri.
Sulit sekali mengurai, mengkritisi, atau mengungkapkan kebenaran suatu argumen
atau masalah kalau kita belum membebaskan diri dari self-interest thinking.
Anda tentu memiliki pengalaman sendiri menganai hal ini. Apa yang biasanya Anda
lakukan untuk melepaskan diri dari kecenderungan self-interest thinking?
Self-serving
bias
Self-serving bias adalah tendensi menakar diri sendiri secara
berlebihan / menilai diri sendiri sebagai yang lebih baik. Dalam hidup
sehari-hari kita sering berhadapan dengan para pembual yang merasa diri lebih
hebat dibandingkan dengan orang lain. Atau bahkan mereka menganggap kita
sebagai orang yang tidak ada apa-apanya, tidak berpendidikan, kurang
terpelajar, dan sebagainya. Sama seperti self-interest thinking, self-serving
bias juga termasuk tendensi alamiah manusia. Yang penting bagaimana
menyikapinya dan tetap bersikap kritis terhadap berbagai persoalan yang
dihadapi.
Sosiosentrisme
Orang yang
seluruh pemikirannya berpusat atau terarah hanya kepada kelompoknya (kelompok
social) disebut sosiosentrisme. Itu artinya bukan hanya egosentrisme yang bisa
menghalangi seseorang untuk berpikir kritis. Sosiosentrisme pun dapat menjadi
penghalang seseorang berpikir kritis. Misalnya, Anda mengatakan bahwa agama
yang Anda anut adalah agama yang paling benar. Atau, kelompok sosial atau etnis
Anda yang paling unggul dibandingkan dengan kelompok social atau etnis lain.
Menurut Anda, mengapa mengapa tendensi berpikir yang mementingkan hanya
kelompok sosial dianggap sebagai penghalang dalam berpikir kritis?
Perhatikan
bahwa cara berpikir seperti ini mengandung bias tertentu, namanya bias
kelompok. Cara kita berpikir dikatakan mengandung bias kelompok jika kita menganggap
kelompok kita yang paling benar, paling unggul, paling baik, dan sebagainya.
Sejarah menunjukkan bahwa justru cara berpikir demikian sangat membahayakan
kehidupan sosial. Apakah Anda tahu mengapa Adolf Hitler memerintahkan tentara
Nazi membunuh jutaan orang Yahudi di Eropa? Apakah Anda tahu mengapa terjadi
konflik berdarah di Ambon dan Poso beberapa tahun lalu? Cara berpikir yang
mengunggulkan kelompok sendiri, agama sendiri, atau etnis sendiri menghalangi
nalar kita untuk berpikir kritis, menalar dengan objektif, dan berargumentasi
secara logis-rasional.
Coba Anda baca
percakapan Jean Piaget (psikolog) dengan seorang bocah bernama Maurice D.
(8 tahun 3 bulan) berikut. Setelah itu berilah komentar Anda berdasarkan
pemahaman Anda mengenai sosiosentrisme sebagai penghalang berpikir kritis.
Seandainya kamu
belum punya kebangsaan (nasionalitas), dan kamu disodorkan kesempatan untuk
memilih kebangsaan tertentu, kamu akan memilih bangsa apa? Swiss, demikian
Maurice D. Mengapa? Karena saya lahir di Swiss. Sekarang coba perhatikan,
apakah menurut kamu Prancis dan Swiss itu sama-sama menyenangkan, atau bangsa
mana yang lebih menyenangkan dan mana yang kurang menyenangkan? Tentu bangsa
Swiss lebih menyenangkan, jawab Maurice. Mengapa? Orang Prancis selalu kasar dan
menjengkelkan. Bangsa mana yang paling pintar, Swiss atau Prancis? Atau,
jangan-jangan keduanya sama saja? Bangsa dan orang Swiss jauh lebih pintar dari
orang Prancis, Mengapa? Karena orang Prancis begitu lahir langsung mempelajari
Bahasa Prancis. Setelah mendengar jawaban-jawaban Maurice ini, Jean Peaget
mengatakan kepada dia bahwa ketika dia bertanya kepada seorang anak laki-laki
Prancis mengeni bangsa apa yang akan dia pilih, Prancis atau Swiss, anak itu
memilih Prancis. Alasannya karena dia lahir di Prancis. Dan menurut dia, bangsa
mana yang lebih menyenangkan, anak itu menjawab bahwa Prancislah yang lebih
menyenangkan daripada Swiss. Anak laki-laki itu juga berpendapat bahwa orang
Prancislah yang paling pintar karena mereka lebih cepat belajar dan memahami
ilmu daripada orang Swiss. Jean Peaget lalu melanjutkan pertanyaannya kepada
Maurice, mengapa kamu dan anak laki-laki Prancis itu memberikan jawaban yang
berbeda? Jawaban siapa yang paling tepat? Saya dong, jawab Maurice. Mengapa?
Karena Swiss tetap yang terbaik!”
Barangkali
salah satu tendensi alamiah yang begitu kuat dalam diri setiap manusia adalah
sikap konformisme dengan kelompok sosial. Memang secara psikologis setiap orang
memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial, sama
seperti kebutuhan dasar kita menjadi bagian dari sebuah keluarga inti. Dalam
kasus sosiosentrisme sebagai penghalang berpikir kritis, konformisme dengan
kelompok sosial terjadi secara sangat intens sebegitu rupa sehingga orang dari
kelompok sosial lain tidak sekadar dieksklusikan, tetapi disubordinasikan.
Celaka jika cara pandang seperti ini masuk dan menjadi bagian dari sebuah
kebijakan publik, karena yang akan terjadi adalah kekacauan dan konflik
antarwarga masyarakat.
Asumsi-asumsi
yang Tak-Teruji (Unwarranted Assumptions) dan Sterotip
Kamu mungkin
pernah mendengar orang mengatakan atau kamu pernah mengatakan hal ini, “Jangan
berasumsi, tunjukkan buktinya!” Apa maksud pernyataan ini? Apa yang dimaksud
dengan asumsi? Segala sesuatu yang kita terima begitu saja (taken for granted)
atau yang kita yakini tanpa ada bukti tertentu atau tanpa berupaya
membuktikannya disebut asumsi. Misalnya, pagi-pagi kamu mendengar ramalan cuaca
di televisi yang mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan, kamu menerima begitu
saja ramalan ini tanpa perlu membuktikannya. Kamu berpegang pada asumsi bahwa
hari ini akan turun hujan.
Hampir sebagian
besar hidup manusia berdasarkan asumsi. Jika tidak demikian, kita akan capeh
sendiri karena harus membuktikan segala sesuatu sebagai benar terlebih dahulu
sebelum menerima atau melaksanakannya. Ada hal-hal tertentu yang diasumsikan
sebagai benar sehingga tidak perlu diuji lagi. Misalnya, jadwal kuliah Anda
mengatakan bahwa kamu harus kuliah Logika jam 07:00 – 08:50. Kamu akan
berangkat pagi-pagi ke kampus tanpa harus menelpon dosen apakah hari ini dia
memberi kuliah logika atau tidak. Ada asumsi-asumsi yang meskipun tidak
dibuktikan kebenarannya terlebih dahulu, kita menerimanya dan mengasumsikannya
sebagai benar. Asumsi-asumsi semacam ini bersifat warranted, artinya ada
alasan yang cukup meyakinkan untuk menerimanya. Ketika ada mobil yang bergerak
menuju Anda tetapi menyalakan lampu sein kiri, kamu mengasumsikan bahwa mobil
itu akan berbelok ke kiri.
Jika ada asumsi
yang sifatnya warranted, tentu ada asumsi yang unwarranted. Asumsi jenis
ini pasti tidak rasional, karena diterima begitu saja tanpa didukung oleh suatu
alasan yang baik. Asumsi semacam ini sering menjadi penghalang untuk berpikir
objektif dan melihat segala sesuatu secara jernih. Seorang pembela perkara di
pengadilan mati-matian membela kliennya sebagai tidak bersalah hanya karena
kliennya adalah seorang ulama, di mana diasumsikan bahwa ulama pasti orang
baik. Asumsi semacam ini bersifat unwarranted.
Contoh paling
gamblang dari asumsi yang unwarranted adalah sterotip. Perhatikan bahwa kata
stereotype sendiri berasal dari dunia percetakan ketika plat (stereotype)
digunakan untuk menghasilkan salinan yang identik dalam sebuah halaman.
Demikianlah, ketika kita mensterotip orang, kita berasumsi bahwa orang
dihasilkan dari satu plat yang sama. Misalnya, ketika kita mengatakan bahwa
para pedagang suka berbohong, kita mengasumsikan bahwa semua pedagang memang
suka berbohong. Padahal ada pedagang yang jujur.
Rupanya kita
tidak bisa sepenuhnya membebaskan diri dari asumsi dan sterotip. Umumnya
sterotip terjadi karena kita melakukan generalisasi yang konyol, kasar, tidak
berdasar. Mungkin kita melihat satu atau beberapa fakta saja, misalnya ada
pedagang yang suka menipu pembelinya. Kenyataan ini membuat kita menyimpulkan
bahwa pasti semua pedagang berkelakuan begitu. Coba kamu sebut contoh-contoh
lain yang menunjukkan generalisasi yang konyol atau berlebihan!
Berpikir kritis
menuntut atau mendesak kita untuk selalu sadar akan setiap pemikiran kita,
termasuk asumsi. Kita tidak bisa menghapus asumsi. Asumsi sendiri menjadi salah
satu tahap penting dalam penyelidikan ilmu pengetahuan. Tantangan yang kita
hadapi bukanlah meniadakan atau menghilangkan asumsi, tetapi mengubah unwarranted
assumption menjadi bukan sekadar warranted assumption, tetapi asumsi
yang selalu disadari (conscious assumption). Hanya dengan demikian, kita
dapat membebaskan diri dari penjara sterotip dan melatih diri untuk selalu
bersikap kritis, termasuk mengkritisi pikiran-pikiran kita sendiri.
Pemikiran yang
Relativistik
Coba simak
dialog antara seorang mahasiswa dengan profesornya berikut.
Fox
: Profesor Ivan, saya tidak mengerti mengapa Anda
memberi nilai D pada paper saya ini?
Prof.
Ivan : Seperti yang kamu baca sendiri di
komentar-komentar saya pada papermu, pendapat-pendapat yang kamu kemukakan
tidak didukung oleh alasan-alasan yang cukup kuat.
Fox
: Maksudnya saya mendapat nilai rendah karena Profesor
tidak setuju dengan pendapat saya?
Prof
Ivan : Bukan begitu. Sama sekali
bukan begitu, Ivan. Kamu mendapat nilai rendah karena kamu tidak mengemukakan
alasan-alasan tertentu yang mendukung pendapat-pendapatmu itu.
Fox
: Tetapi bukankah setiap orang harus mempertahankan
pendapat atau opininya?
Dapatkah seseorang sungguh-sungguh bisa mempertahankan
pendapatnya sebagai benar dan menyatakan bahwa pendapat orang lain salah?
Mengapa kemudian saya harus memberikan penjelasan tertentu kepada pendapat saya
sendiri jika saya harus mempertahankannya dan tak seorang pun bisa membuktikan
mereka sebagai salah?
Dalam logika
dikatakan bahwa Fox telah jatuh ke dalam apa yang disebut pemikiran
relativistik. Apa yang dimaksud dengan pemikiran relativistik? Relativisme
adalah pemikiran yang mengatakan bahwa kebenaran adalah masalah atau persoalan
pendapat. Ada dua bentuk populer dari relativisne, yakni subjektivisme
dan relativisme kultural. Subjektivisme adalah pandangan yang
mengatakan bahwa kebenaran adalah persoalan pendapat individu. Inilah posisi
yang dipertahankan oleh Fox. Menurut pandangan ini, apapun juga yang dipercaya
individu sebagai benar, adalah benar hanya bagi individu yang bersangkutan.
Tidak ada kebenaran objektif atau absolut, yakni kebenaran yang bereksistensi
secara independen dari apa yang setiap orang percaya. Jadi, misalnya Anda
adalah orang yang menolak aborsi, sementara rekan sejawat Anda menerima, kedua
pendapat ini tidak bisa dievaluasi manakah yang benar dan manakah yang salah,
karena kebenaran yang satu hanya berlaku untuk individu.
Relativisme
kulturan berpendapat bahwa kebenaran adalah masalah atau persoalan sosial atau
pendapat kebudayaan tertentu. Dengan kata lain, apa yang benar bagi Fox adalah
benar karena kebudayaan atau komunitas di mana Fox hidup menyatakan itu sebagai
benar. Jadi, jika Anda adalah orang Indonesia, dan masyarakat Indonesia
mempertahankan pendapat bahwa poligami itu sah-sah saja, maka Anda juga setuju
dengan pendapat itu. Jika ditanya mengapa Anda setuju dengan pendapat itu, Anda
mengatakan bahwa karena masyarakat Anda mengatakan demikian. Perhatikan bahwa
baik subjektivis maupun relativisme kultural tidak mengenal dan mengakui adanya
kebenaran objektif dan absolut.
Apakah jenis
kebenaran ini bisa diandalkan? Apakah dalam kehidupan sehari-hari seseorang
bisa mempertahankan pendapatnya sebagai benar hanya karena sesuatu itu benar
menurut dirinya atau masyarakatnya? Apakah tidak ada satu kebenaran pun yang
bisa diterima dan diandalakan sebagai kebenaran objektif? Dewasa ini semakin
disadari bahwa subjektivisme atau relativisme budaya sulit dipertahankan. Yang
cenderung dipertahankan dalam wujudnya yang tertentu adalah relativisme
moral. Relativisme moral menyatakan diri dalam dua wujud, yakni (1)
subjektivisme moral dan (2) relativisme moral kultural.
Subjektivisme
moral adalah pandangan yang menyatakan bahwa apa yang benar dan baik bagi
individu adalah apa yang diyakini oleh individu itu sebagai baik dan benar.
Jadi, jika Anda menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, lalu Anda
yakin bahwa tindakan Anda itu benar, maka tindakan Anda itu tidak bisa
dipersalahkan orang lain. Alasannya karena Anda percaya dan yakin akan tindakan
Anda sebagai benar dan baik secara moral. Jadi, apa yang secara moral adalah
baik dan benar bagi orang lain belum tentu benar dan baik juga bagi Anda.
Bagaimana
dengan relativisme moral kultural? Ini adalah pandangan yang menegaskan bahwa
apa yang benar dan baik secara moral bagi individu (Fox, Jeniffer, Andi) adalah
apa yang dinyatakan oleh kultur dan masyarakat katakan sebagai baik dan benar
secara moral. Tampaknya pandangan relativisme moral kultural lebih populer
dewasa ini karena dua alasan.
Pertama, karena banyak ketidaksepakatan
atau ketidaksetujuan mengenai masalah-masalah moral dibandingkan dengan
kesepakatan atau kesetujuan. Ketika berhadapan dengan aneka macam pendapat dan
pandangan dalam etika dalam memecahkan masalah, teori dan pendekatan etika yang
berbeda-beda ini mengesankan ketidaksetujuan lebih dari kesetujuan. Ini
mendorong orang kebanyakan menyimpulkan bahwa memang tidak ada kebenaran objektif
dalam etika; bahwa moralitas hanya sekadar opini individu atau pendapat
masyarakat.
Kedua, kebanyakan
orang tampaknya menerima secara luas relativisme moral kultural karena
pandangan ini lebih mengakomodasi nilai toleransi. Pandangan ini tampaknya mau
mengatakan bahwa kita harus bersikap toleran terhadap pendapat individu,
pandangan masyarakat, dan nilai-nilai kebudayaan tertentu. Demikianlah, jika
poligami untuk kebudayaan A adalah benar sementara untuk kebudayaan B adalah
salah, kebudayaan B harus bisa menerika bahwa polighami memang benar bagi
kebudayaan A.
Catatan: Seseorang disebut sebagai penganut setia relativisme moral kultural
jika dia mempertahankan pandangan bahwa “apapun juga yang diterima dan
diyakini sebuah kebudayaan sebagai baik dan benar secara moral, itu akan
menjadi baik dan benar juga bagi dia.”
|
Perhatikan
kisah berikut dan coba pahami apa arti dari wishful thinking.
Suatu ketika
saya mengikuti kebaktian ibadat sabda di gereja saya. Pembicara tamu meminta
kami menulis nama kami masing-masing dan sebuah pertanyaan di sehelai kertas.
Petugas kemudian mengumpulkan kertas yang sudah tertulis dengan nama dan satu
pertanyaan, dalam keadaan dilipat. Kertas-kertas yang sudah terisi dalam sebuah
keranjang itu kemudian di letakkan di samping mimbar pengkotbah. Dalam keadaan
mata tertutup kain, pengkotbah mencoba mengambil sehelai kertas dari dalam
keranjang, membukanya perlahan-lahan dan menempatkannya di hadapannya. Setelah
jeda sejenak dia akan menyebut nama seseorang. Orang yang dipanggil namanya
akan berdiri dan pengkotbah itu akan menjawab pertanyaan yang sudah ditulis
orang itu. Karena pengkotbah itu menjawab dalam keadaan mata tertutup,
orang-orang yang hadir di gereja itu menganggap jawaban yang keluar dari
mulutnya sebagai inspirasi dari roh kudus.
Tetapi apa yang
terjadi kemudian tampaknya di luar harapan. Saya melihat dengan jelas betapa
sang pengkotbah itu tampak menghadapi kesulitan serius. Sepertinya ada sesuatu
yang tidak beres dengan matanya sehingga dia tampak kesulitan membaca
pertanyaan dari balik kain yang menutupi matanya. Karena itu dia perlahan-lahan
membuka kain penutup matanya dengan satu tangan dan tangan yang lainnya membuka
kertas berisi pertanyaan. Setelah membaca pertanyaan dia cepat-cepat melipat
kembali kertas itu dan bersiap-siap untuk memberikan jawaban terhadap
pertanyaan tersebut.
Saya melihat ke
arah umat yang ada dalam gereja itu untuk melihat apa reaksi mereka terhadap
tindak kebohongan yang dilakukan pengkotbah itu. Betapa terkejutnya saya ketika
menyaksikan bahwa tak ada satu pun dari mereka yang sedang melihat ke arah
pengkotbah. Ada yang menengadah ke langit-langit gereja, ada yang melihat ke
bawah, dan ada pula yang menutup mata. Saya menyentuh seorang ibu yang duduk di
sampingku dan meminta dia melihat ke arah pengkotbah yang sedang membohongi
mereka. Dia tidak mengarahkan pandangannya ke arah pengkotbah tetapi terus
melihat ke arahku. Ketika saya mendesak ibu itu untuk melihat ke arah
pengkotbah, dia justru berbalik dan mengarahkan pandangannya ke belakang dan
kemudian kembali melihat ke arah saya. Bahkan ketika saya mendesak dia sekali
lagi, ibu itu mengarahkan pandangannya ke plafon gereja.
Perilaku
menjijikkan dari orang-orang yang ada di gereja itu mengherankan saya. Mengapa
orang-orang ini tidak mau melihat penipuan yang sedang dilakukan pengkotbah?
Mereka ingin meyakini bahwa sang pengkotbah itu akan menjadi perantara
komunikasi mereka dengan sanak-saudara mereka yang telah meninggal dunia.
Orang-orang yang dalam gereja itu menjadi contoh yang baik bagaimana mereka
menerima tindakan penipuan yang sangat jelas dengan tidak melihat pada tindakan
itu sendiri” (Sumber: dikutip dari: http://www.fallacyfiles.org/wishthnk.html. Last accesed:
February 16, 2010)
Kisah ini
sedikit banyak menggambarkan pengertian wishful thinking. Secara psikologis,
wishful thinking adalah keyakinan akan sesuatu sebagai benar karena hasrat atau
keinginan (wish) bahwa sesuatu itu benar. Mengacu ke kisah di atas, umat yang ada
dalam gereja itu tidak ingin melihat kebohongan yang dilakukan sang pengkotbah,
karena mereka berada dalam keadaan wishful thinking, yakni mereka ingin (wish)
menerima apa yang dikatakan sang pengkotbah sebagai benar. Apa yang sebetulnya
menjadi keinginan justru diposisikan secara sadar sebagai kesimpulan.
Wishful
thinking dapat dirumsukan secara sederhana demikian:
Saya ingin P adalah benar.
Jadi, P
adalah benar
|
Cara berpikir
seperti ini tidak hanya menumpulkan pikiran kritis kita, tetapi juga menyesatkan.
Menerima wisful thinking berarti menghalangi kita untuk membuktikan secara
kritis dan rasional apakah suatu kesimpulan, gagasan, atau ide mengandung
kebenaran objektif atau tidak. Bahkan wishful thinking mengarahkan kita untuk
mencari hanya kesimpulan, gagasan, atau ide yang mendukung kebenaran sejauh
sesuai dengan keinginan kita semata.
SUMBER :
Sihotang, K., K,
F. R., Molan, B., Ujan, A. A., & Ristyantoro, R. (2012). Critical
Thinking. Membangun Pemikiran Logis. Jakarta: Sinar Harapan.
kuliahfilsafat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar