Kamis, 23 Oktober 2014

Filsafat : Critical Thinking






critical thinking sebagai keterampilan berpikir kritis, memampukan seseorang mengambil jarak terhadap realitas, mempertanyakannya, dan mengajukan alternatif pemahaman yang lebih rasional dan universal, tentu berdasarkan kaidah-kaidah berpikir kritis, logis, dan filosofis. Pertanyaan klasik dapat diajukan di sini, “Mengapa mempelajari critical thinking?” Definisi critical thinking dapat membantu menjawab pertanyaan ini, dan itu juga yang dilakukan Kasdin Sihotang dan kawan-kawan dalam buku mereka. Poin paling penting dalam definisi tersebut adalah penekanan critical thinking sebagai keterampilan. Itu artinya kuliah atau pembelajaran critical thinking harus sanggup membentuk kemampuan berpikir kritis, dan bukan sekadar menghafal definisi logika, menyebutkan kesesatan berpikir, atau menjelaskan proses berpikir induktif dan deduktif. Critical thinking harus sanggup menjadi seni berpikir, membantu seseorang memahami hubungan logis antar berbagai gagasan, mengidentifikasi, menyusun, dan menilai argumentasi, mendeteksi inkonsistensi dan kesalahan-kesalahan yang biasanya dilakukan dalam penalaran, memecahkan problem berpikir secara sistematis, mengidentifikasi gagasan-gagasan yang relevan dan penting, dan merefleksikan nilai serta keyakinan diri yang menjadi dasar


                        STANDAR-STANDAR BERPIKIR KRITIS

Standar 1: Kejelasan (clarity)

Supaya bisa bersikap kritis terhadap pandangan atau pendapat orang lain, kita harus mendengar atau membaca pendapat orang itu. Ini yang seringkali bermasalah. Tidak jarang kita menemukan betapa pendapat orang tersebut sulit dimengerti. Sebabnya bisa macam-macam. Ada orang yang sulit mengemukakan pendapatnya karena tidak terampil dalam berkomunikasi. Ada orang yang memang bodoh, tetapi yang lainnya lebih karena kemalasan atau ketidakpeduliaan. Dengan kata lain, kejelasan (clarity) dalam mengemukakan gagasan atau pendapat menjadi salah satu standar berpikir kritis.
Coba simak contoh berikut dan kemudian beri komentar atau diskusikan dengan teman-temanmu. Apakah penulis sudah cukup jelas mengemukakan pendapatnya?

“Penyebab gizi buruk pada balita sangat kompleks. Penyebab langsung, anak tidak mendapat gizi seimbang, yaitu Air Susu Ibu (ASI) saat umur 0-6 bulan, dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang memenuhi syarat saat umur 6-24 bulan. Penyebab langsung lain adalah infeksi, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan campak. Kedua sebab langsung ini saling memperkuat, didorong oleh faktor kemiskinan, kurangnya pendidikan, lingkungan tidak bersih, dan banyaknya anak dengan jarak kelahiran terlalu dekat. Faktor ini dapat menyebabkan anak tidak diasuh dengan semestinya, seperti tidak diberi ASI, tidak dapat menyediakan MP-ASI yang baik, dan tidak dibawa ke posyandu atau pelayanan kesehatan. Keadaan ini akan makin buruk apabila pelayanan kesehatan ibu dan anak di puskesmas dan posyandu tidak baik, sehingga tidak semua anak diimunisasi, pencegahan dan penanggulangan penyakit diare lambat dilakukan, tidak ada penyuluhan kebersihan, kesehatan umum, dan penyuluhan gizi” (Sihadi, Strategi Penanggulangan Gizi Buruk. Dalam Majalah CDK, 173 / vol. 36 no. 7, November–Desember 2009, hlm. 526).

Apakah menurut kamu Sihadi mengemukakan gagasan atau pendapatnya secara jelas ? Jika kamu berpendapat bahwa beberapa pemikiran Sihadi masih sulit dimengerti, coba tunjukkan bagian-bagian tersebut. Jika kamu diberi kebebasan untuk memformulasikan ulang pemikiran Sihadi tersebut, coba tunjukkan rumusan Anda yang jelas dan mudah dimengerti.

Untuk mencapai kejelasan berpikir dalam berpikir kritis, seseorang dituntut untuk tidak hanya memperhatikan kejelasan bahasa, tetapi juga kejelasan pemikiran itu sendiri. Kejelasan bahasa berhubungan dengan bagaimana kita memakai bahasa sesuai kaidah kebahasaan dalam mengemukakan pemikiran kita. Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan pemikiran. Jika kaidah-kaidah kebahasaan tidak diperhatikan atau tidak ditaati, kita akan gagal memanfaatkan bahasa sebagai alat menyampaikan gagasan. Selain itu, kejelasan juga termasuk kejelasan isi pikiran. Isi pikiran seseorang akan sulit ditangkap dan dimengerti jika seseorang menyimpulkan bahwa gizi buruk disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya ASI dan Makanan Pendamping ASI tetapi mencampuradukannya dengan buruknya pelayanan kesehatan.

Standar 2: Presisi (precision)

Ketepatan (presisi) dalam mengemukakan pikiran atau gagasan sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang membiasakan dan melatih dirinya dalam mengobservasi sesuatu dan menarik kesimpulan-kesimpulan logis atas apa yang diamatinya tersebut. Kemampuan presisi juga berhubungan dengan apa yang diistilah dengan close attention. “Really valuable ideas can only be had at the price of close attention,” demikian Charles S. Pierce.

Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak bidang yang membutuhkan presisi. Misalnya dalam bidang kedokteran, teknik, arsitektur, dan sebagainya. Dalam pemikiran kritis pun dibutuhkan ketepatan. Kemampuan mengamati dan menentukan apa yang sebenarnya sedang terjadi atau sedang dihadapi membutuhkan kemampuan presisi ini. Misalnya, Anda seorang dokter menghadapi pasien dengan gejala-gejala tertentu. Anda harus dengan tepat mengatakan jenis penyakit apa yang diderita pasien tersebut plus alasan-alasannya.

Standar 3: Akurasi (Accuracy)

Keakuratan putusan kita sangat ditentukan oleh informasi yang masuk ke dalam pikiran kita. Jika kita menginput informasi yang salah atau menyesatkan, maka jangan heran kita menghasilkan suatu putusan atau kesimpulan yang salah pula. Misalnya, seorang pemimpin perusahaan memutuskan memecat karyawannya karena mendengar informasi yang salah dari karyawan lain bahwa karyawan yang dipecat itu melanggar kode etik perusahaan. Seharusnya sang pimpinan memanggil dan menggali sendiri informasi dari karyawan tersebut dan informasi-informasi lainnya yang terkait. Meskipun Anda seorang yang sangat pintar, Anda tetap bisa mengambil putusan yang keliru jika informasi yang Anda dapatkan keliru.

Orang yang selalu berpikir kritis tidak akan gegabah dalam mengambil putusan jika informasi-informasi yang dibutuhkan belum mencukupi. Mereka yang terbiasa berpikir kritis tidak hanya menjunjung tinggi dan memberikan penilaian pada suatu kebenaran. Mereka juga memiliki passion yang mendalam tentang keakuratan dan informasi-informasi yang tepat. Socrates mengatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan tidak pantas untuk dihidupi tampaknya tepat untuk menggambarkan kemampuan berpikir kritis yang satu ini.

Standar 4: Relevansi (Relevance)

Yang dimaksud di sini adalah bagaimana kita memusatkan perhatian pada informasi-informasi yang dibutuhkan bagi kesimpulan berpikir kita, dan tidak membiarkan pikiran dikuasai, dikendalikan, atau dialihkan oleh informasi-informasi lain yang tidak relevan. Misalnya, dalam sebuah debat politik mengenai boleh tidaknya menggusur sebuah gedung bersejarah untuk membangun supermarket. Seorang politisi, misalnya, mengalihkan pembicaraan dari substansi permasalahan dengan mengatakan bahwa gedung tua itu temboknya sudah lapuk, catnya sudah mengelupas, dan tidak enak dipandang mata. Gedung tua itu merusak pemandangan kota. Cara berargumentasi seperti ini, jika diikuti hanya akan mengalihkan perhatian dari hal-hal yang substansial ke hal-hal yang sifatnya sekunder dan periferal.

Standar 5: Konsistensi (Consistency)

Apa yang kamu ketahui tentang konsistensi? Mengapa konsistensi penting dalam berpikir kritis? Mencari dan mempertahankan kebenaran menuntut adanya konsistensi sikap, baik dalam upaya terus menerus mencari kebenaran maupun membangun argument-argumen mengenai pengetahuan. Kebenaran tidak pernah dicapai sekali untuk selamanya, dia harus terus dikejar dan diusahakan. Tanpa sikap konsisten dalam mencari kebenaran mustahil memperoleh kebenaran. Demikian pula sikap konsisten dalam membangun argumentasi yang adalah ekspresi pengetahuan subjek mengenai sesuatu. Argumen yang jelas dan terpilah-pilah harus tetap dipertahankan, dan ini langsung memperlihatkan konsistensi dari si subjek yang berpikir kritis.

Ada dua ketidakkonsistenan yang harus dihindari :

Pertama : Inkonsistensi logis, dalam arti percaya atau menerima sebagai benar suatu materi tertentu yang tidak benar sebagian atau seluruhnya.

Kedua : Inkonsistensi praktis, yakni diskrepansi antara perkataan dan perbuatan. Orang yang konsisten harus memiliki sikap yang mencerminkan apa yang dikatakannya. Hal ini akan nyata benar dalam pemikiran dan sikap moral.

Seorang politikus yang gagal melaksanakan apa yang sudah dijanjikannya atau membual di televisi, seorang penceramah agama terkenal yang ketahuan memiliki istri simpanan, seorang artis yang mengkampanyekan penolakan terhadap narkotika tetapi terlibat sebagai pengguna, semuanya adalah kaum farisi dan munafik, Mereka gagal menjadi orang-orang kritis bagi dirinya sendiri, tetapi juga memiliki karakter yang buruk secara moral.

Standar 6: Kebenaran Logis (Logical Correctness)

Coba pelajari kutipan berikut:

“Kadang-kadang saya terkejut mendengar hujatan dari mereka yang mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang kudus. Misalnya para biarawati yang tidak pernah telanjang ketika mandi. Ketika ditanya mengapa mereka melakukan hal demikian, padahal tidak seorang pun mengintip ketika mereka mandi, mereka menjawab, “ Anda lupa akan Tuhan yang Maha Baik.” Jelas mereka memahami Tuhan sebagai orang yang suka mengintip (Peeping Tom), di mana kemahakuasaan-Nya memampukan Dia untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk mengintip melalui dinding kamar mandi. Cara pandang seperti ini sangat menggangu saya.” (Bertrand Russell, Unpopular Essay (New York: Simon & Schuster, 1950), hlm. 75-76.

Apakah Anda bisa menemukan ketidakbenaran logis dalam kutipan ini? Dari kutipan ini kita bisa merumuskan beberapa premis, antara lain:

1.      Allah mampu melihat segala sesuatu

Dari sini para suster menarik kesimpulan secara benar, bahwa:

2.      Allah melihat melalui tembok kamar mandi

Meskipun demikian, para suster gagal menarik kesimpulan bahwa:

3.      Allah juga melihat apa yang tersembunyi dalam pakaian para suster.

Standar 7: Keutuhan (Completeness)

Ini lebih berhubungan dengan rasa tidak puas pikiran kita ketika mencerna atau memahami suatu pemikiran. Misalnya, kita membaca laporan investigasi koran atau majalah tertentu mengenai kejahatan kera putih (white Collar Crime). Mungkin karena keterbatasan ruang atau data-data, kita sebagai pembaca merasa tidak puas dengan apa yang disajikan. Reaksi pikiran kita ini wajar adanya, karena kita sadar betul, bahwa sesuatu akan menjadi lebih baik jika mendalam dan sebaliknya. Pikiran kita akan mengapresiasi pemikiran-pemikiran yang mendalam lebih dari sekadar basa-basi atau dibuat-buat.

Standar 8: Fairness 

Berpikir kritis menuntut kita agar memiliki pemikiran yang fair, dalam arti open minded, impartial, serta bebas distorsi dan praduga. Memang agak sulit menghindari hal-hal demikian dalam pemikiran kita, tetapi kita harus menghindarinya kalau mau bersikap kritis. Kita memang hidup dalam kebudayaan masyarakat yang menyenangi hal-hal bersifat gossip, dugaan, prasangka, stereotype, dan sebagainya yang ternyata sangat menyenangkan dan menghibur. Tetapi kalau kita mau berpikir dan bersikap kritis, maka hal-hal seperti ini harus dihindari. Jika tidak, pemikiran atau argumentasi yang kita bangun tidak akan objektif dan fair.

Berpikir Kritis di Kelas

Kamu sebenarnya sudah mulai berpikir kritis di kelas ketika kamu berdiskusi kelompok dan mengkritik reportase temanmu. Tentu sebagai mahasiswa kamu seharusnya selalu bersikap kritis di kelas.  Dunia perguruan tinggi tentu berbeda dengan keadaan ketika kamu masih di SLTA. Berpikir kritis telah menjadi bagian yang mengkonstitusikan jati diri mahasiswa.

Sebenarnya kuliah pemikiran kritis ini bisa membantu meningkatkan keterampilan berpikir kamu. Diharapkan keterampilan dan kemampuan berpikir kritis dan logis bisa meningkatkan performa kamu di kelas. Kalau sebelumnya kamu adalah mahasiswa yang mendengar dan menerima begitu saja apa yang dikatakan dosen atau teman-temanmu, maka sekaranglah saatnya kamu berani berpikir dan mempertanyakan argumentasi dosen atau teman. Dengan kemampuan berpikir kritis, kamu seharusnya bisa:

1.      Memahami argumentasi-argumentasi dan keyakinan-keyakinan dosen dan teman-temanmu.
2.      Mengevaluasi dan menilai argumentasi dan keyakinan tersebut secara kritis.
3.      Membangun dan mempertahankan argument-argumen Anda yang sudah Anda bangun secara meyakinkan.

Tentu sebagai mahasiswa kamu harus mempelajari dan menguasai bidang ilmu tertentu. Apakah kuliah berpikir kritis bisa membantu kamu menguasai bidang keilmuan tersebut? Tentu saja bisa. Memang kuliah logika atau berpikir kritis tidak akan membuat mata kuliah lain menjadi lebih mudah dipahami. Meskipun demikian, kamu akan menyadari betapa pemikiran kritis membantu kamu mempelajari mata kuliah lain dengan perspektif yang lebih terfokus. Berpikir kritis akan memudahkan kamu memahami mata kuliah lain secara lebih mendalam persis ketika kamu memiliki sikap untuk tidak percaya begitu saja pada apa yang dipaparkan, kamu berusaha mencari informasi secara lebih mendalam dan lengkap, kamu mengevaluasi konsistensi logis dari pemikiran-pemikiran yang disajikan, dan sebagainya.

Selain itu, keterampilan berpikir kritis yang kamu miliki akan membantu kamu mengevaluasi secara kritis apa yang sudah kamu pelajari di kelas. Sekali lagi berpikir kritis akan mendorong kamu untuk selalu melihat segala sesuatu dari banyak perspektif dan dari perspektif yang jauh lebih luas. Pemikiran kritis juga memampukan kamu membangun argumentasi atau penikiran sendiri mengenai suatu topik, pemikiran atau pendapat. Misalnya, setelah mempelajari sikap paternalistik dokter dalam menangani pasien atau sikap represif polisi menghalau para demonstran di istana negara, kamu bisa menulis atau mengajukan argumentasi-argumentasimu mengenai peristiwa tersebut.

Berpikir Kritis di Tempat Kerja

Apakah berpikir kritis juga bermanfaat di tempat kerja? Di mana pun juga kamu bekerja dan apa saja profesi atau keahlianmu, berpikir kritis tetap diperlukan. Jika kamu sebagai seorang pimpinan, kamu dituntut untuk memberi instruksi yang jelas, tidak ambigu, dan tidak membingungkan. Dalam berbagai rapat, kamu diharapkan mampu memformulasikan persoalan secara jelas dan runtut. Kamu menilai kinerja karyawan bukan berdasarkan kriteria senang atau tidak senang atau prasangka-prasangka etnis, jender, agama, dan sebagainya, tetapi semata-mata berdasarkan keahlian. Kamu juga memiliki sikap terbuka terhadap kritik dan mau memperbaiki diri.

Demikian pula karyawan biasa. Supaya bisa dimengerti teman atau atasan, kamu harus memiliki sikap kritis. Indikator-indikator berpikir kritis di atas dapat menjadi check list sejauh mana kamu sudah bisa disebut orang yang kritis. Di tempat kerja, kamu akan sulit dipahami jika cara berkomunikasimu mengandung bias, prasangka, sterotip, dan sebagainya. Seluruh laporan kerja kamu juga akan mudah dimengerti jika dikerjakan secara jelas, logis, mengandung alur berpikir tertentu, dan sebagainya.

Berpikir Kritis dalam Kehidupan Sehari-hari

Berpikir kritis juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, berpikir kritis memampukan kita menghindari pengambilan keputusan yang terburu atau gegabah yang akan merugikan diri sendiri. Misalnya, ketika kita memutuskan untuk membeli sesuatu, membangun hubungan perkawinan dengan seseorang, pindah kerja, membangun bisnis, dan sebagainya.
Kedua, berpikir kritis tentu meminkan peran penting dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Sistem politik yang demokratis menjamin kebebasan konstitusional kepada warga negara untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, baik secara lisan maupun tulisan. Bentuknya bisa berupa aksi protes dan demonstrasi, jajak pendapat, tulisan di Koran, pamflet, spanduk, dan sebagainya. Semuanya ini mengandaikan keterampilan berpikir kritis.

Ketiga, kuliah pemikiran kritis atau logika juga memiliki tujuan pada dirinya sendiri, yakni membuat seseorang menjadi matang secara intelektual. Jika manusia pada umumnya bersikap dogmatis, menerima dan percaya begitu saja pada apa yang dibicarakan atau dikatakan orang, kamu yang mempelajari pemikiran kritis akan memiliki sikap yang berbeda dengan kebanyakan orang tersebut. Kamu akan mempertanyakan segala sesuatu dan berusaha menemukan jawaban yang paling memuaskan keinginan tahu Anda.

KARAKTER SEORANG PEMIKIR KRITIS

Orang yang Kritis
Orang yang Tidak Kritis
Memiliki dorongan yang kuat untuk menemukan kejelasan, ketepatan (presisi), keakuratan, dst
Sering berpikir dalam cara yang kabur, tidak tepat, dan tidak akurat.
Sangat peka  terhadap ide, gagasan, kesimpulan yang mengandung egosentrisme, sosiosentrisme, wishful thinking, dst
Sering jatuh ke dalam dan menjadi pendukung setia egosentrisme, sosiosentrisme, pemikiran relativistik, asumsi-asumsi yang tak-teruji, dan wishful thinking
Sangat menyadari nilai dan manfaat dari berpikir kritis, baik secara individu maupun secara komunitas
Tidak menyadari nilai dan manfaat dari berpikir kritis
Jujur secara intelektual dengan dirinya, menyadari hal-hal yang tidak dimengerti dan menerima kelemahan-kelemahan diri
Mengira bahwa dirinya mengetahui lebih dari yang sebenarnya dan menyangkal keterbatasan mereka.
Mendengar dengan pikiran-terbuka pada pandangan atau pendapat yang berlawanan dan menerima kritik terhadap keyakinan dan asumsi-asumsi mereka
Pikirannya bersifat tertutup dan menolak setiap kritik
Mendasarkan keyakinan-keyakinannya pada fakta lebih dari kepentingan-diri atau preferensi pribadi
Sering mendasarkan keyakinan-keyakinannya pada preferensi diri atau kepentingan-diri
Sadar akan kemungkinan adanya bias dan praduga yang ikut memengaruhi cara mereka memahami dunia
Tidak atau kurang menyadari bias-bias atau praduga-praduga mereka sendiri
Berpikir independen dan tidak takut berbeda pendapat dengan pendapat kelompok atau masyarakat
Cenderung mengikuti saja apa yang dikatakan kelompok atau masyarakat, mengikuti pendapat atau gagasan orang lain atau kelompok tanpa sikap kritis.
Mampu menangkap inti dari suatu isu atau masalah tanpa terperangkap atau dikacaukan oleh detail-detail yang disajikan
Mudah sekali terperangkap dalam detail-detail dan sulit menangkap esensi dari sesuatu gagasan atau pendapat.
Memiliki keberanian intelektual untuk menghadapi dan mengakses gagasan-gagasan yang benar yang bahkan bertentangan dengan gagasan atau pendapat mereka sendiri.
Takut dan menolak gagasan atau pendapat yang berbeda dengan gagasan, pendapat, atau keyakinannya.
Mengejar kebenaran dan memiliki keinginan tahu yang tinggi terhadap isu atau masalah
Cenderung “cuek” atau acuh tak acuh terhadap kebenaran, tidak punya cukup cukup rasa ingin tahu.
Memiliki daya tahan intelektual dalam mengejar insight atau kebenaran di tengah-tengah kesulitan atau hambatan
Dalam mengejar kebenaran cenderung tidak tahan atau cepat menyerah terhadap berbagai kesulitan dan hambatan yang muncul.

HAMBATAN BERPIKIR KRITIS

1.      Kurangnya informasi yang memadai;
2.      kemampuan membaca yang buruk;
3.      bias;
4.      prasangka;
5.      tahayul;
6.      egosentrisme (pemikiran yang memusat ke diri sendiri);
7.      sosiosentrisme (pemikiran yang memusat ke kelompok);
8.      tekanan kelompok;
9.      konformisme;
10.    provinsialisme;
11.    pikiran sempit;
12.    pikiran tertutup;
13.    tidak percaya pada nalar;
14.    berpikiran relativistic;
15.    sterotip;
16.    asumsi-asumsi yang tak terbukti;
17.    pengkambinghitaman (scapegoating);
18.    rasionalisasi;
19.    penyangkalan;
20.   wishful thinking;
21.    berpikir jangka pendek;
22.    persepsi selektif;
23.    daya ingat selektif;
24.    emosi yang menggebu-gebu;
25.    penipuan-diri (self-deception);
26.    menyelamatkan muka (face-saving);
27.    takut akan perubahan.

Mari kita mengevaluasi beberapa di antaranya (terutama egosentrisme, sosiosentrisme, unwarranted assumption and stereotypes, berpikir relativistik, dan wishful thinking) untuk mendalami dan memahami hambatan-hambatan berpikir kritis.

Egosentrisme

Egosentrisme adalah kecenderungan melihat dan memahami realitas sebagai yang berpusat pada diri sendiri. Mereka yang memiliki kecenderungan ini adalah orang-orang yang menempatkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai mereka sendiri sebagai yang lebih unggul dibandingkan dengan orang lain.
Egosentrisme dapat menampakkan diri dalam dua cara, yakni self-interest thinking dan self-serving bias. Keduanya dapat diuraikan lebih lanjut.

Self-interest thinking
 
Self-interest thinking adalah kecenderungan untuk menerima dan mempertahankan keyakinan yang cocok atau harmonis dengan kepentingan-diri sendiri. Dapat dikatakan bahwa setiap kita memiliki kecenderungan ini. Misalnya, para mahasiswa akan menerima kebijakan kampus yang menguntungkan mereka. Dokter akan mendukung kebijakan pemerintah atau undang-undang yang tidak membahayakan profesi mereka. Para karyawan akan langsung menerima kebijakan pimpinan yang menaikkan uang makan harian mereka, dan sebagainya.

Apa yang salah dengan kecenderungan pikiran manusia yang satu ini? Jelas self-interest thinking menghambat kita mencapai pemikiran yang rasional, kritis, dan objektif. Jika kita berkutat dengan kecenderungan ini, maka setiap kali berhadapan dengan realitas kita akan berusaha mencari hal-hal yang menguntungkan diri sendiri terlebih dahulu, dan bukan kebenaran itu sendiri. Sulit sekali mengurai, mengkritisi, atau mengungkapkan kebenaran suatu argumen atau masalah kalau kita belum membebaskan diri dari self-interest thinking. Anda tentu memiliki pengalaman sendiri menganai hal ini. Apa yang biasanya Anda lakukan untuk melepaskan diri dari kecenderungan self-interest thinking?

Self-serving bias

Self-serving bias adalah tendensi menakar diri sendiri secara berlebihan / menilai diri sendiri sebagai yang lebih baik. Dalam hidup sehari-hari kita sering berhadapan dengan para pembual yang merasa diri lebih hebat dibandingkan dengan orang lain. Atau bahkan mereka menganggap kita sebagai orang yang tidak ada apa-apanya, tidak berpendidikan, kurang terpelajar, dan sebagainya. Sama seperti self-interest thinking, self-serving bias juga termasuk tendensi alamiah manusia. Yang penting bagaimana menyikapinya dan tetap bersikap kritis terhadap berbagai persoalan yang dihadapi.

Sosiosentrisme

Orang yang seluruh pemikirannya berpusat atau terarah hanya kepada kelompoknya (kelompok social) disebut sosiosentrisme. Itu artinya bukan hanya egosentrisme yang bisa menghalangi seseorang untuk berpikir kritis. Sosiosentrisme pun dapat menjadi penghalang seseorang berpikir kritis. Misalnya, Anda mengatakan bahwa agama yang Anda anut adalah agama yang paling benar. Atau, kelompok sosial atau etnis Anda yang paling unggul dibandingkan dengan kelompok social atau etnis lain. Menurut Anda, mengapa mengapa tendensi berpikir yang mementingkan hanya kelompok sosial dianggap sebagai penghalang dalam berpikir kritis?

Perhatikan bahwa cara berpikir seperti ini mengandung bias tertentu, namanya bias kelompok. Cara kita berpikir dikatakan mengandung bias kelompok jika kita menganggap kelompok kita yang paling benar, paling unggul, paling baik, dan sebagainya. Sejarah menunjukkan bahwa justru cara berpikir demikian sangat membahayakan kehidupan sosial. Apakah Anda tahu mengapa Adolf Hitler memerintahkan tentara Nazi membunuh jutaan orang Yahudi di Eropa? Apakah Anda tahu mengapa terjadi konflik berdarah di Ambon dan Poso beberapa tahun lalu? Cara berpikir yang mengunggulkan kelompok sendiri, agama sendiri, atau etnis sendiri menghalangi nalar kita untuk berpikir kritis, menalar dengan objektif, dan berargumentasi secara logis-rasional.

Coba Anda baca percakapan Jean Piaget (psikolog) dengan seorang bocah bernama Maurice D. (8 tahun 3 bulan) berikut. Setelah itu berilah komentar Anda berdasarkan pemahaman Anda mengenai sosiosentrisme sebagai penghalang berpikir kritis.

Seandainya kamu belum punya kebangsaan (nasionalitas), dan kamu disodorkan kesempatan untuk memilih kebangsaan tertentu, kamu akan memilih bangsa apa? Swiss, demikian Maurice D. Mengapa? Karena saya lahir di Swiss. Sekarang coba perhatikan, apakah menurut kamu Prancis dan Swiss itu sama-sama menyenangkan, atau bangsa mana yang lebih menyenangkan dan mana yang kurang menyenangkan? Tentu bangsa Swiss lebih menyenangkan, jawab Maurice. Mengapa? Orang Prancis selalu kasar dan menjengkelkan. Bangsa mana yang paling pintar, Swiss atau Prancis? Atau, jangan-jangan keduanya sama saja? Bangsa dan orang Swiss jauh lebih pintar dari orang Prancis, Mengapa? Karena orang Prancis begitu lahir langsung mempelajari Bahasa Prancis. Setelah mendengar jawaban-jawaban Maurice ini, Jean Peaget mengatakan kepada dia bahwa ketika dia bertanya kepada seorang anak laki-laki Prancis mengeni bangsa apa yang akan dia pilih, Prancis atau Swiss, anak itu memilih Prancis. Alasannya karena dia lahir di Prancis. Dan menurut dia, bangsa mana yang lebih menyenangkan, anak itu menjawab bahwa Prancislah yang lebih menyenangkan daripada Swiss. Anak laki-laki itu juga berpendapat bahwa orang Prancislah yang paling pintar karena mereka lebih cepat belajar dan memahami ilmu daripada orang Swiss. Jean Peaget lalu melanjutkan pertanyaannya kepada Maurice, mengapa kamu dan anak laki-laki Prancis itu memberikan jawaban yang berbeda? Jawaban siapa yang paling tepat? Saya dong, jawab Maurice. Mengapa? Karena Swiss tetap yang terbaik!”

Barangkali salah satu tendensi alamiah yang begitu kuat dalam diri setiap manusia adalah sikap konformisme dengan kelompok sosial. Memang secara psikologis setiap orang memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial, sama seperti kebutuhan dasar kita menjadi bagian dari sebuah keluarga inti. Dalam kasus sosiosentrisme sebagai penghalang berpikir kritis, konformisme dengan kelompok sosial terjadi secara sangat intens sebegitu rupa sehingga orang dari kelompok sosial lain tidak sekadar dieksklusikan, tetapi disubordinasikan. Celaka jika cara pandang seperti ini masuk dan menjadi bagian dari sebuah kebijakan publik, karena yang akan terjadi adalah kekacauan dan konflik antarwarga masyarakat.

Asumsi-asumsi yang Tak-Teruji (Unwarranted Assumptions) dan Sterotip

Kamu mungkin pernah mendengar orang mengatakan atau kamu pernah mengatakan hal ini, “Jangan berasumsi, tunjukkan buktinya!” Apa maksud pernyataan ini? Apa yang dimaksud dengan asumsi? Segala sesuatu yang kita terima begitu saja (taken for granted) atau yang kita yakini tanpa ada bukti tertentu atau tanpa berupaya membuktikannya disebut asumsi. Misalnya, pagi-pagi kamu mendengar ramalan cuaca di televisi yang mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan, kamu menerima begitu saja ramalan ini tanpa perlu membuktikannya. Kamu berpegang pada asumsi bahwa hari ini akan turun hujan.

Hampir sebagian besar hidup manusia berdasarkan asumsi. Jika tidak demikian, kita akan capeh sendiri karena harus membuktikan segala sesuatu sebagai benar terlebih dahulu sebelum menerima atau melaksanakannya. Ada hal-hal tertentu yang diasumsikan sebagai benar sehingga tidak perlu diuji lagi. Misalnya, jadwal kuliah Anda mengatakan bahwa kamu harus kuliah Logika jam 07:00 – 08:50. Kamu akan berangkat pagi-pagi ke kampus tanpa harus menelpon dosen apakah hari ini dia memberi kuliah logika atau tidak. Ada asumsi-asumsi yang meskipun tidak dibuktikan kebenarannya terlebih dahulu, kita menerimanya dan mengasumsikannya sebagai benar. Asumsi-asumsi semacam ini bersifat warranted, artinya ada alasan yang cukup meyakinkan untuk menerimanya. Ketika ada mobil yang bergerak menuju Anda tetapi menyalakan lampu sein kiri, kamu mengasumsikan bahwa mobil itu akan berbelok ke kiri.

Jika ada asumsi yang sifatnya warranted, tentu ada asumsi yang unwarranted. Asumsi jenis ini pasti tidak rasional, karena diterima begitu saja tanpa didukung oleh suatu alasan yang baik. Asumsi semacam ini sering menjadi penghalang untuk berpikir objektif dan melihat segala sesuatu secara jernih. Seorang pembela perkara di pengadilan mati-matian membela kliennya sebagai tidak bersalah hanya karena kliennya adalah seorang ulama, di mana diasumsikan bahwa ulama pasti orang baik. Asumsi semacam ini bersifat unwarranted.

Contoh paling gamblang dari asumsi yang unwarranted adalah sterotip. Perhatikan bahwa kata stereotype sendiri berasal dari dunia percetakan ketika plat (stereotype) digunakan untuk menghasilkan salinan yang identik dalam sebuah halaman. Demikianlah, ketika kita mensterotip orang, kita berasumsi bahwa orang dihasilkan dari satu plat yang sama. Misalnya, ketika kita mengatakan bahwa para pedagang suka berbohong, kita mengasumsikan bahwa semua pedagang memang suka berbohong. Padahal ada pedagang yang jujur.

Rupanya kita tidak bisa sepenuhnya membebaskan diri dari asumsi dan sterotip. Umumnya sterotip terjadi karena kita melakukan generalisasi yang konyol, kasar, tidak berdasar. Mungkin kita melihat satu atau beberapa fakta saja, misalnya ada pedagang yang suka menipu pembelinya. Kenyataan ini membuat kita menyimpulkan bahwa pasti semua pedagang berkelakuan begitu. Coba kamu sebut contoh-contoh lain yang menunjukkan generalisasi yang konyol atau berlebihan!

Berpikir kritis menuntut atau mendesak kita untuk selalu sadar akan setiap pemikiran kita, termasuk asumsi. Kita tidak bisa menghapus asumsi. Asumsi sendiri menjadi salah satu tahap penting dalam penyelidikan ilmu pengetahuan. Tantangan yang kita hadapi bukanlah meniadakan atau menghilangkan asumsi, tetapi mengubah unwarranted assumption menjadi bukan sekadar warranted assumption, tetapi asumsi yang selalu disadari (conscious assumption). Hanya dengan demikian, kita dapat membebaskan diri dari penjara sterotip dan melatih diri untuk selalu bersikap kritis, termasuk mengkritisi pikiran-pikiran kita sendiri.


Pemikiran yang Relativistik

Coba simak dialog antara seorang mahasiswa dengan profesornya berikut.

Fox            :     Profesor Ivan, saya tidak mengerti mengapa Anda memberi nilai D pada paper saya ini?

Prof. Ivan   :     Seperti yang kamu baca sendiri di komentar-komentar saya pada papermu, pendapat-pendapat yang kamu kemukakan tidak didukung oleh alasan-alasan yang cukup kuat.

Fox            :     Maksudnya saya mendapat nilai rendah karena Profesor tidak setuju dengan pendapat saya?

Prof Ivan    :     Bukan begitu. Sama sekali bukan begitu, Ivan. Kamu mendapat nilai rendah karena kamu tidak mengemukakan alasan-alasan tertentu yang mendukung pendapat-pendapatmu itu.

Fox            :     Tetapi bukankah setiap orang harus mempertahankan pendapat atau opininya? 

Dapatkah seseorang sungguh-sungguh bisa mempertahankan pendapatnya sebagai benar dan menyatakan bahwa pendapat orang lain salah? Mengapa kemudian saya harus memberikan penjelasan tertentu kepada pendapat saya sendiri jika saya harus mempertahankannya dan tak seorang pun bisa membuktikan mereka sebagai salah?

Dalam logika dikatakan bahwa Fox telah jatuh ke dalam apa yang disebut pemikiran relativistik. Apa yang dimaksud dengan pemikiran relativistik? Relativisme adalah pemikiran yang mengatakan bahwa kebenaran adalah masalah atau persoalan pendapat. Ada dua bentuk populer dari relativisne, yakni subjektivisme dan relativisme kultural. Subjektivisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa kebenaran adalah persoalan pendapat individu. Inilah posisi yang dipertahankan oleh Fox. Menurut pandangan ini, apapun juga yang dipercaya individu sebagai benar, adalah benar hanya bagi individu yang bersangkutan. Tidak ada kebenaran objektif atau absolut, yakni kebenaran yang bereksistensi secara independen dari apa yang setiap orang percaya. Jadi, misalnya Anda adalah orang yang menolak aborsi, sementara rekan sejawat Anda menerima, kedua pendapat ini tidak bisa dievaluasi manakah yang benar dan manakah yang salah, karena kebenaran yang satu hanya berlaku untuk individu.

Relativisme kulturan berpendapat bahwa kebenaran adalah masalah atau persoalan sosial atau pendapat kebudayaan tertentu. Dengan kata lain, apa yang benar bagi Fox adalah benar karena kebudayaan atau komunitas di mana Fox hidup menyatakan itu sebagai benar. Jadi, jika Anda adalah orang Indonesia, dan masyarakat Indonesia mempertahankan pendapat bahwa poligami itu sah-sah saja, maka Anda juga setuju dengan pendapat itu. Jika ditanya mengapa Anda setuju dengan pendapat itu, Anda mengatakan bahwa karena masyarakat Anda mengatakan demikian. Perhatikan bahwa baik subjektivis maupun relativisme kultural tidak mengenal dan mengakui adanya kebenaran objektif dan absolut.

Apakah jenis kebenaran ini bisa diandalkan? Apakah dalam kehidupan sehari-hari seseorang bisa mempertahankan pendapatnya sebagai benar hanya karena sesuatu itu benar menurut dirinya atau masyarakatnya? Apakah tidak ada satu kebenaran pun yang bisa diterima dan diandalakan sebagai kebenaran objektif? Dewasa ini semakin disadari bahwa subjektivisme atau relativisme budaya sulit dipertahankan. Yang cenderung dipertahankan dalam wujudnya yang tertentu adalah relativisme moral. Relativisme moral menyatakan diri dalam dua wujud, yakni (1) subjektivisme moral dan (2) relativisme moral kultural.

Subjektivisme moral adalah pandangan yang menyatakan bahwa apa yang benar dan baik bagi individu adalah apa yang diyakini oleh individu itu sebagai baik dan benar. Jadi, jika Anda menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, lalu Anda yakin bahwa tindakan Anda itu benar, maka tindakan Anda itu tidak bisa dipersalahkan orang lain. Alasannya karena Anda percaya dan yakin akan tindakan Anda sebagai benar dan baik secara moral. Jadi, apa yang secara moral adalah baik dan benar bagi orang lain  belum tentu benar dan baik juga bagi Anda.

Bagaimana dengan relativisme moral kultural? Ini adalah pandangan yang menegaskan bahwa apa yang benar dan baik secara moral bagi individu (Fox, Jeniffer, Andi) adalah apa yang dinyatakan oleh kultur dan masyarakat katakan sebagai baik dan benar secara moral. Tampaknya pandangan relativisme moral kultural lebih populer dewasa ini karena dua alasan. 

Pertama, karena banyak ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan mengenai masalah-masalah moral dibandingkan dengan kesepakatan atau kesetujuan. Ketika berhadapan dengan aneka macam pendapat dan pandangan dalam etika dalam memecahkan masalah, teori dan pendekatan etika yang berbeda-beda ini mengesankan ketidaksetujuan lebih dari kesetujuan. Ini mendorong orang kebanyakan menyimpulkan bahwa memang tidak ada kebenaran objektif dalam etika; bahwa moralitas hanya sekadar opini individu atau pendapat masyarakat.

Kedua, kebanyakan orang tampaknya menerima secara luas relativisme moral kultural karena pandangan ini lebih mengakomodasi nilai toleransi. Pandangan ini tampaknya mau mengatakan bahwa kita harus bersikap toleran terhadap pendapat individu, pandangan masyarakat, dan nilai-nilai kebudayaan tertentu. Demikianlah, jika poligami untuk kebudayaan A adalah benar sementara untuk kebudayaan B adalah salah, kebudayaan B harus bisa menerika bahwa polighami memang benar bagi kebudayaan A.

Catatan: Seseorang disebut sebagai penganut setia relativisme moral kultural jika dia mempertahankan pandangan bahwa “apapun juga yang diterima dan diyakini sebuah kebudayaan sebagai baik dan benar secara moral, itu akan menjadi baik dan benar juga bagi dia.”

Perhatikan kisah berikut dan coba pahami apa arti dari wishful thinking.

Suatu ketika saya mengikuti kebaktian ibadat sabda di gereja saya. Pembicara tamu meminta kami menulis nama kami masing-masing dan sebuah pertanyaan di sehelai kertas. Petugas kemudian mengumpulkan kertas yang sudah tertulis dengan nama dan satu pertanyaan, dalam keadaan dilipat. Kertas-kertas yang sudah terisi dalam sebuah keranjang itu kemudian di letakkan di samping mimbar pengkotbah. Dalam keadaan mata tertutup kain, pengkotbah mencoba mengambil sehelai kertas dari dalam keranjang, membukanya perlahan-lahan dan menempatkannya di hadapannya. Setelah jeda sejenak dia akan menyebut nama seseorang. Orang yang dipanggil namanya akan berdiri dan pengkotbah itu akan menjawab pertanyaan yang sudah ditulis orang itu. Karena pengkotbah itu menjawab dalam keadaan mata tertutup, orang-orang yang hadir di gereja itu menganggap jawaban yang keluar dari mulutnya sebagai inspirasi dari roh kudus.

Tetapi apa yang terjadi kemudian tampaknya di luar harapan. Saya melihat dengan jelas betapa sang pengkotbah itu tampak menghadapi kesulitan serius. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan matanya sehingga dia tampak kesulitan membaca pertanyaan dari balik kain yang menutupi matanya. Karena itu dia perlahan-lahan membuka kain penutup matanya dengan satu tangan dan tangan yang lainnya membuka kertas berisi pertanyaan. Setelah membaca pertanyaan dia cepat-cepat melipat kembali kertas itu dan bersiap-siap untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.

Saya melihat ke arah umat yang ada dalam gereja itu untuk melihat apa reaksi mereka terhadap tindak kebohongan yang dilakukan pengkotbah itu. Betapa terkejutnya saya ketika menyaksikan bahwa tak ada satu pun dari mereka yang sedang melihat ke arah pengkotbah. Ada yang menengadah ke langit-langit gereja, ada yang melihat ke bawah, dan ada pula yang menutup mata. Saya menyentuh seorang ibu yang duduk di sampingku dan meminta dia melihat ke arah pengkotbah yang sedang membohongi mereka. Dia tidak mengarahkan pandangannya ke arah pengkotbah tetapi terus melihat ke arahku. Ketika saya mendesak ibu itu untuk melihat ke arah pengkotbah, dia justru berbalik dan mengarahkan pandangannya ke belakang dan kemudian kembali melihat ke arah saya. Bahkan ketika saya mendesak dia sekali lagi, ibu itu mengarahkan pandangannya ke plafon gereja.

Perilaku menjijikkan dari orang-orang yang ada di gereja itu mengherankan saya. Mengapa orang-orang ini tidak mau melihat penipuan yang sedang dilakukan pengkotbah? Mereka ingin meyakini bahwa sang pengkotbah itu akan menjadi perantara komunikasi mereka dengan sanak-saudara mereka yang telah meninggal dunia. Orang-orang yang dalam gereja itu menjadi contoh yang baik bagaimana mereka menerima tindakan penipuan yang sangat jelas dengan tidak melihat pada tindakan itu sendiri” (Sumber: dikutip dari: http://www.fallacyfiles.org/wishthnk.html. Last accesed: February 16, 2010)

Kisah ini sedikit banyak menggambarkan pengertian wishful thinking. Secara psikologis, wishful thinking adalah keyakinan akan sesuatu sebagai benar karena hasrat atau keinginan (wish) bahwa sesuatu itu benar. Mengacu ke kisah di atas, umat yang ada dalam gereja itu tidak ingin melihat kebohongan yang dilakukan sang pengkotbah, karena mereka berada dalam keadaan wishful thinking, yakni mereka ingin (wish) menerima apa yang dikatakan sang pengkotbah sebagai benar. Apa yang sebetulnya menjadi keinginan justru diposisikan secara sadar sebagai kesimpulan.

Wishful thinking dapat dirumsukan secara sederhana demikian:

Saya ingin P adalah benar.
Jadi, P adalah benar

Cara berpikir seperti ini tidak hanya menumpulkan pikiran kritis kita, tetapi juga menyesatkan. Menerima wisful thinking berarti menghalangi kita untuk membuktikan secara kritis dan rasional apakah suatu kesimpulan, gagasan, atau ide mengandung kebenaran objektif atau tidak. Bahkan wishful thinking mengarahkan kita untuk mencari hanya kesimpulan, gagasan, atau ide yang mendukung kebenaran sejauh sesuai dengan keinginan kita semata.


SUMBER :  


Sihotang, K., K, F. R., Molan, B., Ujan, A. A., & Ristyantoro, R. (2012). Critical Thinking. Membangun Pemikiran Logis. Jakarta: Sinar Harapan.

kuliahfilsafat.com
                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar