Rabu, 26 November 2014

Menyegarkan Rembang dengan Kawis : Imam Tohari

Selasa, 11 November 2014
Sumber : Harian Kompas
http://print.kompas.com/getattachment/f9c1c12d-2a77-4a99-8596-cf8a4d159f78


Kawis atau kawista adalah buah khas Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, telah jadi minuman sirup populer saat ini. Popularitas minuman khas menyegarkan ini tidak lepas dari peran perajin minuman Imam Tohari (58). Dari berbagai usaha yang dilakukan, hatinya jatuh pada kawis dan upaya budidayanya.
 
Jika buah Kawis tua, daging buahnya berwarna merah kecoklatan menyerupai daging buah asam. Kulit batoknya sangat keras melindungi daging buahnya, sama kerasnya dengan batok kelapa. Buah ini jika matang di pohon dapat langsung dimakan. Ada rasa sepet dan manis serta baunya khas seperti asam. Akan lebih nikmat jika kawis dimakan dicampur gula pasir.

Dalam 10 tahun terakhir, buah ini mulai disukai warga di luar Rembang, terutama lewat minuman sirup kawis. Melalui upaya pengolahan kawis sebagai sirup, Imam sebagai perajin telah menyabet penghargaan bidang pengolahan minuman. Buah kawis mengantarkan Imam ke Eropa untuk pameran dagang di Den Haag, Belanda, Maret 2013.
"Sewaktu kesempatan di Belanda, saya membawa 16 biji buah kawis masak, 1 kuintal sirup kawis, serta 200 kotak madu mongso rasa kawis. Semua habis sebelum penutupan pameran. Malahan, beberapa peminat dari negara lain yang datang ke pameran minta dikirimi sirup kawis secara rutin, tetapi saya belum mampu memenuhinya,” kata Imam di rumah produksi usaha minuman di Desa Pantiharjo, Kaliori, Rembang.

Di Den Haag, sirup kawis ukuran 600 mililiter dijual seharga 12 euro, madu mongso rasa kawis 8 euro, dan minuman kawis cup kecil laku 6 euro. Pengalaman berinteraksi dengan penggemar minuman di Den Haag telah menyadarkan Imam agar terus giat menekuni kawis. Buah kawis ternyata langka. Di Jawa Tengah, tanaman kemungkinan hanya tumbuh dan berkembang secara baik di daerah Rembang, Lasem, dan sekitarnya.

Tanaman kawis konon berasal dari India dan kaya manfaat, seperti menurunkan panas badan. Buah kawis juga mampu mengatasi sakit perut, menjaga fungsi hati, serta menguatkan jantung karena kaya mineral. Kawis alias buah kawista (Limonia acidissima), termasuk suku jeruk-jerukan (Rutaceae), satu kerabat dengan buah maja. Kulit buahnya yang keras dan tidak mudah pecah menyebabkan banyak orang jarang suka. Tinggi pohonnya rata-rata 12 meter. Daunnya luruh dan sangat cocok tumbuh di dataran kering seperti Rembang.

Perkenalan berliku
 
Pada tahun 2000, awalnya Imam berbisnis rajungan untuk ekspor ke Amerika Serikat. Keserakahan nelayan yang mengambil rajungan indukan menyebabkan usahanya jatuh menyusul habisnya populasi rajungan. Kerugian miliaran rupiah ditanggung Imam.

Setelah itu, Imam hendak mengolah buah markisa setelah menyaksikan ratusan pohon markisa berkembang bagus di Kecamatan Bulu dan Sulang, Rembang. Ketika upaya mengolah markisa sebagai sirup akan dimulai, dia kecewa. Warga menebangi banyak pohon markisa. Warga beralih ke tanaman tebu yang memberikan keuntungan minimal Rp 15 juta per tahun.

Imam mantap mengolah buah kawis setelah pada 2002 memperoleh kiriman buah kawis dari kerabatnya. Buah itu setelah diselidiki ternyata dari pohon kawis tua di Kelurahan Grajen, Kecamatan Rembang Kota. Pohon kawis berusia 80 tahun dan masih berbuah itu jadi pohon indukan unggul bagi tanaman kawis turunan selanjutnya di Rembang.
"Kalau pohon kawis dari turunan langsung indukan itu, buahnya sempurna. Tekstur buah kawis lembut, juga bulu kulitnya tidak banyak. Buahnya besar serta aromanya justru sangat khas, yakni asamnya kuat,” ujar Imam.

Menurut dia, bahan baku kawis terbatas. Terlebih lagi, pohon ini hanya memiliki masa panen pendek, yakni April hingga Juli. Untuk berbuah, pohon kawis memerlukan masa tumbuh 6-7 tahun. Usia produktif pohon kawis diperkirakan sampai 15 tahun, setelah itu produksi buahnya merosot. Terbatasnya persediaan buah menyebabkan usaha pengolahan sirupnya juga tidak maksimal.
Dengan bahan baku kawis terbatas, per minggu Imam hanya mengolah 25 kilogram buah kawis untuk mendapatkan lebih kurang 150 liter sirup. Ketika pohon kawis tidak panen, Imam mengambil sari buah atau ekstrak daging kawis yang disimpan di lemari pendingin berkapasitas sedang di rumahnya.
Untuk memenuhi konsumen, produk sirup kawis dikemas dalam berbagai ukuran, mulai dari cup kecil hingga ukuran 1.000 mililiter. Produk sirup kawis juga telah memperoleh hak paten, berikut produk olahan turunannya, seperti madu mongso, yangko berbahan kawis, dan sale kawis.

Pemikiran sederhana
 
Keuletan usaha pengolahan sirup kawis yang ditekuni Imam dilatari pemikiran sederhana. Imam ingin menjadikan kawis sebagai ikon produk unggulan Rembang. Kini, usaha pengolahan sirupnya telah memiliki outlet di Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Wonosobo, Semarang, dan Tuban (Jawa Timur).

Meski banyak outlet, ternyata produk sirup yang tersedia juga terbatas. Pada situasi normal, Imam hanya mempekerjakan lima perajin. Menghadapi hari raya, Imam dibantu lebih dari 10 perajin untuk memenuhi permintaan yang tinggi.
Menyadari kawis merupakan buah langka dan pohonnya terbatas, Imam mengembangkan pembibitannya. Biji kawis hasil olahannya dikumpulkan, kemudian dijemur hingga kering.
"Biji kawis yang sudah kering total kami tanam di lahan pekarangan supaya tumbuh benih. Benih itu sudah banyak yang dibagikan kepada warga, kelompok tani kebun, ataupun diambil petugas kehutanan untuk dikembangkan di lahan masing-masing,” ujarnya.

Imam mengakui, usaha sirup kawisnya tidak begitu penting memberikan keuntungan baginya. Hal paling penting ialah melestarikan dan menambah jumlah pohon kawis supaya tidak punah. Dia punya kebun seluas 1 hektar di Desa Waru, Rembang, yang juga ditanami ratusan pohon kawis, sirsak, mengkudu, dan belimbing wuluh.

Usaha pelestarian tanaman kawis pun memberi hasil. Sebelum tahun 2001, di Rembang tercatat kurang dari 2.000 pohon kawis. Berdasarkan hasil pendataan Pemerintah Kabupaten Rembang pada 2012, jumlah pohon kawis mencapai 4.500 pohon. Dari jumlah itu, 2.500 pohon termasuk usia produktif sehingga terus berbuah. Pohon lainnya masih tumbuh dan berbuah 4-5 tahun mendatang.
Kesibukan baru yang kini dijalani Imam juga melayani mahasiswa yang menjadikan usahanya sebagai tempat praktik atau riset. Dia juga beberapa kali jadi pembicara dalam pelatihan pengolahan buah menjadi sirup di banyak kota. Imam banyak membagikan ilmu tentang cara mengolah kawis menjadi sirup. Tak heran, banyak perajin baru dari beberapa kota juga belajar langsung cara mengolah sirup kawis di rumahnya.

Hal yang menggembirakan, sejumlah hotel di beberapa kota di Jawa Tengah mulai bekerja sama menjadikan sirup kawis sebagai minuman selamat datang bagi tamu. Dari buah kawis yang sebelumnya banyak terbuang, di tangan Imam menjadi olahan berharga. Dengan mengolah buah langka kawis sebagai sirup menyegarkan, kini hidup Imam Tohari lebih bermakna.

Imam Tohari
  • Lahir: Kediri, 16 April 1956
  • Pendidikan:
- STM Mesin 1977
- Universitas Terbuka 1994 (tidak selesai)
  • Istri:  Hj A'syiah Sulastri
  • Anak: 
- Siti Umizahroh
- Rifki Ifan Dianto
  • Unit Usaha: Karya Bhakti Makanan dan Minuman (KBM2) Rembang
  • Penghargaan: 
- Juara 1 UMKM Pengolahan se-Jawa Tengah, 2012
- Terbaik 1 UMKM Pangan Award 2012 Kategori Produk
- Minuman Kemasan, Kementerian Perdagangan

Dadan Erawan dan Ginanjar MS Menjemput Semangat dan Bakat Mereka



Menjemput Semangat dan Bakat Mereka


Rabu, 19 November 2014
Sumber : Harian Kompas
Penulis Artikel : Cornelius Helmy
Oleh : Dwi Aulia Syifayantie 

http://print.kompas.com/getattachment/c9406e17-88e0-464c-93ee-31ac24c9e811


Dadan Erawan (33) dan Ginanjar MS (22) setia menjemput semangat anak–anak usia sekolah di sekitar perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka terpanggil memberikan kesempatan setara kepada anak-anak yang kurang beruntung.
 
Beberapa ketukan di pintu rumahnya membangunkan Endang (38), warga Kampung Bojong, Desa Kersamaju, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, dari tidurnya. Jarum jam menunjukkan pukul 23.00. Tidak biasanya Endang menerima tamu selarut itu. Kejutan tidak berhenti. Di depan pintu, Dadan Erawan dan beberapa guru SMK Widya Mukti, Cigalontang, mengucapkan salam.
Dadan tidak lama berbasa-basi saat dipersilakan masuk. Ia langsung bertanya apakah anak Endang yang bernama Siti Rohayati (16),  mau melanjutkan sekolah selepas SMP atau tidak?

“Inginnya begitu, tapi tidak punya biaya,” jawab Endang yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pembuat pita itu.
Jawaban itu kembali Dadan dengar, biaya sekolah jadi kendala utama.
“Rohayati bisa sekolah di SMK Widya Mukti. Tidak ada uang gedung, uang sekolah semampunya saja,” ujar Dadan.
Endang menoleh pada anaknya. “Bade sakola (mau sekolah)?” tanya Endang.
Rohayati tersenyum. Ia mengangguk setuju.

Wirausaha
 
Kini, Rohayati duduk di kelas II SMK Widya Mukti. Bersama 84 murid lainnya, ia belajar di sekolah yang berdiri dekat perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya itu. Sekitar 80 persen siswa SMK ini adalah anak-anak yang diajak sekolah lagi. Ada yang telanjur bekerja atau tidak yakin bisa melanjutkan pendidikan.

Sejak tiga tahun lalu, SMK Widya Mukti seperti rumah bagi anak-anak yang kurang beruntung itu. Berbeda dengan sekolah lain, siswa diminta terus belajar tanpa harus memusingkan biaya. SMK Widya Mukti bersama tiga sekolah lain di Garut di bawah pengelolaan Yayasan Setia Bhakti. Yayasan ini menyisihkan pendapatan dari pengelolaan pasar tradisional Genteng di Garut dan toko alat-alat bangunan di Bandung untuk operasional sekolah.

Menurut Dadan, kebiasaan turun ke lapangan mencari murid sudah dilakukan sejak SMK Widya Mukti berdiri tiga tahun lalu. Fokusnya mengajak anak usia sekolah yang terkendala faktor geografis dan biaya kembali belajar.

Dadan biasa melakukannya mulai siang setelah jam pelajaran usai. Badannya dipaksa terus bugar. Kakinya dibawa menyusuri jalan rusak sekitar Garut-Tasikmalaya. Hujan deras bukan halangan. Saat muncul keinginan siswa untuk sekolah lagi, itu menjadi imbalan setimpal.

“Penolakan pernah ada. Namun, banyak juga orangtua siswa mengubah pandangan mereka. Dari hanya puas anaknya lulus SMP, mereka kini berharap anak-anaknya bisa sekolah setinggi mungkin,” kata Dadan yang mulai mengajar sejak 10 tahun.

Enung (41) warga Sukaikhlas, Desa Sukatani, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, adalah salah seorang di antaranya. Awalnya, ia menganggap lulus SMP cukup bagi anaknya. Berat baginya membiayai jenjang sekolah lebih tinggi. Hanya bekerja sebagai buruh kebun teh, ia nyaris merestui anaknya bekerja.

Saat Dadan datang ke rumahnya, Enung sedikit lebih tenang. Saat mengetahui sekolah tak perlu biaya tinggi, ia seperti punya harapan. Enung semakin mantap saat SMK Widya Mukti mengajarkan praktik kewirausahaan. Keuntungannya tidak besar. Namun, cukup membiayai ongkos transportasi anaknya dari rumah ke sekolah.
 “Sekarang rumah saya jadi tempat latihan wirausaha siswa. Setelah pulang sekolah, mereka kerap memasak di sini,” kata Enung.
 
Ginanjar MS (22), guru SMK Widya Mukti lainnya, yang bertanggung jawab mendampingi program kewirausahaan tersebut. Ia mengatakan, program itu kini diikuti 16 siswa yang dibagi dalam dua kelompok. Dengan modal Rp 100.000 per kelompok, mereka memasak dan menjual penganan ringan dari tepung kanji.

“Awalnya dari keluhan siswa yang berat menanggung biaya transportasi ke sekolah. Rumahnya jauh dari sekolah,” katanya.
Akan tetapi, Ginanjar mengatakan, tujuan wirausaha tidak sesederhana itu. Mimpinya mendorong siswa lebih mandiri. Meski berharap semua lulusan SMK Widya Mukti melanjutkan sekolah, setidaknya ada bekal wirausaha bagi mereka yang belum beruntung. Canda tawa lewat transfer ilmu wirausaha juga semakin mendekatkan ikatan guru dan siswa.
“Kepercayaan diri siswa juga ikut diasah. Hasil dagangan dijual sendiri. Mulai dari angkutan umum atau warung yang dilewati saat pergi sekolah hingga menjajakan di lingkungan sekolah saat istirahat,” ujarnya.

Nurdiyanti (17) warga Desa Kersamaju, Tasikmalaya, merasakan nikmat berwirausaha. Awalnya, ia hampir tidak melanjutkan sekolah. SMA dekat rumahnya mewajibkan uang gedung hingga Rp 5 juta. Ayahnya yang bekerja sebagai petani tidak punya cukup uang untuk membiayainya. Ia siap putus sekolah.
“Tawaran Pak Dadan dan Pak Ginanjar tidak saya lewatkan meski harus menempuh perjalanan belasan kilometer. Sejak awal saya memang ingin sekolah biarpun saat hujan sering kali basah kuyup sampai sekolah,” kata Nurdiyanti, peraih peringkat kedelapan dari 25 siswa kelas II.

Bangga 

Akan tetapi, tidak semuanya berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Ginanjar mencontohkan angkatan pertama yang jumlahnya menyusut. Pertama kali datang, angkatan pertama itu sebanyak 13 orang. Jumlahnya bertambah menjadi 20 orang. Namun, kemudian menyusut menjadi 15 orang saat menginjak tahun ketiga. Kendala ekonomi membuat siswa hengkang untuk menikah atau bekerja sebelum lulus.

“Berbeda dengan angkatan kedua yang hingga tahun ini tetap berjumlah 25 orang. Angkatan ketiga mencapai 45 siswa. Kami ingin mempertahankannya,” katanya.
Kini, setelah tahun ketiga, giliran guru dibuat bangga. Dadan mencontohkan Aas Trisnawati (16) yang menyabet juara III di ajang Semarak Inovasi Pengembangan Pertanian Indonesia 2013 di Bogor. Karya tulis berjudul “Analisis Jumlah Petani di Tasikmalaya” memikat juri. Sebelumnya, Aas putus sekolah dan sempat bekerja selepas.

Anak-anak yang susah payah diajak sekolah kembali juga membuktikan kemampuannya. Rohayati kini tidak pernah jauh dari tiga terbaik di kelas. Ia bahkan berani bermimpi lebih
tinggi.
“Saya ingin jadi dokter,” kata Rohayati.
Bakat besar bangsa ini tumbuh di mana saja. Hanya butuh kemauan dan kesempatan agar membuatnya lebih harum.

Kita wajib mencontoh sikap yang ditunjukan Dadan Erawan dan Ginanjar, sikap yang peduli satu sama lain apalagi terhadap pendidikan bagi warga yang kurang mampu. Dengan sikap yang pantang menyerah untuk menemukan anak yang mau belajar, dan selalu melewati setiap tantangan dan rintangan yang dihadapinya. 

Dadan Erawan 


  •  Lahir: Garut, 20 Maret 1981

  •  Pendidikan:

- SD Pasanggarahan I Garut (Lulus 1993)
- SMPN Cilawu Garut (Lulus 1996)
- SMAN I Cilawu Garut (1999)
- S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di STKIP Garut (Lulus 2004)
- S-2 Jurusan Manajemen Sistem Pendidikan di Universitas Galuh, Ciamis (Lulus 2008)

Ginanjar MS 


  • Lahir: Garut, 10 April 1992
  • Pendidikan: 

- SD Sabang Bandung (Lulus 2004)
- SMPN 27 Bandung (Lulus 2007)
- SMAN 1 Garut (Lulus 2010) 
- S-1 Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (Lulus 2014)

Zubin Mehta dan Anak-anak Jalanan



Rabu, 26 November 2014
Sumber: Harian Kompas
Penulis Artikel : Frans Sartono
Oleh : Dwi Aulia Syifayantie
http://www.thejakartapost.com/files/images2/p28-a2_2.main%20story.jpg


Violis yang pernah bermain untuk konduktor dunia sekelas Zubin Mehta dan Christoph Eschenbach itu akan bermain bersama anak-anak jalanan Jakarta. Vionis itu bernama Iskandar Widjaja-Hadar yang akan tampil dalam Konser Musik di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (27/11) malam.
Persaingan sangatlah berat bagi solois biola di Eropa. Iskandar Widjaja-Hadar yang berumur 28 tahun termasuk salah seorang yang “beruntung” bisa diperhitungkan dalam persaingan ketat tersebut. Ia pernah mengikuti jalur kompetisi, namun ia mengaku kompetisi kurang sesuai dengan jiwanya yang tidak suka “berantem” dengan sesama musisi.

“Saya lebih suka menundukkan diri sendiri saja. Kita harus menantang diri sendiri untuk bekerja keras,” ujar Iskandar yang ditemui di rumah orangtuanya, Ivan Hadar, di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Senin (24/11) sore.

Hasilnya, pada 2012 ia diterima untuk beraudisi di depan salah seorang konduktor terbaik dunia, yaitu Zubin Mehta. Tidak mudah untuk bertemu Mehta yang punya jadwal konser ketat. Iskandar harus menunggu setahun untuk akhirnya mendapat jadwal audisi ketika Mehta berada di Florence, Italia. Iskandar yang tinggal di Berlin, pun terbang ke Italia.
“Saya sangat beruntung bisa beraudisi dan mendapatkan hasil yang baik. Dia (Mehta) seorang legenda, termasuk lima besar konduktor terbaik di dunia,” kata Iskandar yang lebih merasa nyaman berbicara dalam bahasa Inggris dengan Kompas.

“Saya begitu bahagia bisa bermain untuk dia. Dia mendengarkan permainan saya selama 30 menit. Dia bilang menikmati permainan saya dan menilai saya mempunyai teknik dan pemahaman tentang musik yang bagus,” ujar Iskandar yang memainkan biola Stradivarius buatan tahun 1734.
Dari hasil audisi itu Iskandar, tampil dalam konser dengan orkestra Maggio Musicale Firenze di bawah konduktor Mehta di Zurich Tonhalle, Swiss. Ini adalah salah satu gedung konser terbaik di dunia. Tiket konser itu ludes dipesan. Selain Mehta, Iskandar juga beraudisi dan diterima oleh konduktor Christoph Eschenbach yang kini menjadi music director pada National Symphony Orchestra dan Kennedy Center for Performing Arts di Washington DC.

Berbagi cinta
 
Dari pengalaman di panggung musik dunia, Iskandar Widjaja datang ke Jakarta untuk bermain bersama anak-anak jalanan, anak-anak dari keluarga miskin yang terpinggirkan.
Anak-anak jalanan ini dibina oleh Jakarta Philharmonic Orchestra (JPO) dan Yayasan Philharmonic Society lewat program Musik yang Membebaskan anak didiknya.

Menurut Ivan Hadar, musik yang bertema konser bersama anak jalanan ini, akan mengasah kepekaan rasa, kepekaan pada kondisi sosial, dan kejujuran serta memandirikan.
Bagi Iskandar, ada benang merah yang sama ketika ia bermain dengan anak-anak jalanan ataupun musisi profesional, yaitu berbagi rasa cinta pada orang lain.
“Basic musik itu sama saja, yaitu kita berbagi rasa cinta dan rasa bahagia lewat musik, tak peduli apakah kita bermain dengan orkestra atau dengan anak-anak,” ungkap Iskandar.

Tentu saja ada perbedaan yang bersifat teknis saat bermain dalam orkestra profesional, tetapi inti bermain musik tetap sama. Ketika bermain dengan anak-anak, yang bahkan sebelumnya tidak pernah melihat bentuk biola, Iskandar kembali ke hakikat bermain musik itu.
Selain bermain dengan anak-anak jalanan, Iskandar dan JPO juga akan memberi pengarahan pada 28 November di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta. Kepada anak-anak dan pelajar itu, Iskandar akan memberi motivasi dalam bermain musik.

“Saya akan sampaikan kepada mereka bagaimana kecintaan saya pada musik. Dan, mungkin itu bisa menginspirasi mereka karena musik itu tidak hanya menyangkut bagaimana cara menikmatinya, tapi juga tantangan. Kita harus bekerja agar mencapai hasil,” ujarnya.
Kebetulan Iskandar termasuk orang yang dekat dengan anak-anak. Dari pengalaman selama ini, anak-anak dan remaja merasa nyaman dengannya.

“Di dalam diri saya, saya merasa seperti anak-anak. Saya ini childlike. Jika saya ketemu anak-anak, saya merasa mereka tahu bahwa saya ini punya pikiran yang sama dengan mereka. Jadi, mereka tidak takut dengan saya, ha-ha-ha,” kata Iskandar yang juga menyukai musik pop, seperti milik Beyonce.
Iskandar bermain musik sejak umur empat tahun. Orangtuanya menggunakan metode Suzuki untuk mengakrabkan Iskandar dengan musik. Metode yang dikembangkan musisi Jepang, Shin’ichi Suzuki (1898-1998), ini berbasis pada teori bahasa ibu bahwa anak-anak akan mampu belajar dari apa yang ia dengar.

“Saya kira itu bagus. Anak-anak belajar bahasa ibu dengan sempurna tanpa perlu belajar gramatika atau dari buku, tapi cukup mendengarkan. Jadi, menurut Suzuki, anak-anak perlu banyak mendengar musik, lalu mereka bisa belajar untuk memainkannya tanpa notasi,” kata Iskandar.
Umur 11 tahun, Iskandar mulai belajar musik ala “sekolahan”, termasuk belajar di perguruan tinggi sebagai siswa luar biasa. Sejak itu, ia belajar teori musik, analisis musik, serta hal-hal teknis bermain. “Jadi, saya kira kita membutuhkan kedua-duanya. Tapi, untuk memulainya, Suzuki sangat membantu.”

Musik itu energi
 
Bagi Iskandar, musik merupakan energi yang menghidupkan dirinya. Musik mempunyai efek pada pikiran manusia. Di dalam musik ada potensi penyembuhan yang membuat orang hidup. Musik mempunyai kekuatan menyapa dan daya hibur ketika seseorang sedang dirundung duka.
Menurut Iskandar, musik juga bisa memberikan pengalaman spiritual. Seorang komposer bisa membuat musik untuk tujuan spiritual, terutama komposer era barok, seperti Bach dan Handel.
“Dan, musik punya efek membersihkan dan menjernihkan pikiran. Segala unsur negatif dalam diri kita akan luruh. Musik itu energi dan manusia eksis karena energi.”

Iskandar Widjaja-Hadar

  • Lahir:  Berlin, Jerman,  6 Juni 1986
  • Pengalaman:
- Bermain di bawah konduktor Zubin Mehta dengan orkestra Maggio Musicale Firenze 
- Bermain di bawah  konduktor  Christoph Eschenbach dengan   Munich Philharmonic
  • Penghargaan:    
- Pemenang The Lotto Promotional Prize 2013 pada The Rheingau Music Festival, Jerman, untuk solois biola  
- Peraih  medali emas pada 1st International Hindemith Violin Competition
- Pemenang I  pada The First Federal Prize at Jugend Musiziert (Youth Making Music) 
- Pemenang pada Best Bach dan Best Beethoven Sonata pada The 21st Concorso Violinistico Internazionale Andrea Postacchini
- Tahun 2013 diterima sebagai solois utama pada Orpheum Foundation berdasarkan referensi dari Zubin Mehta dan Christoph Eschenbach