Rabu, 26 November 2014

Dadan Erawan dan Ginanjar MS Menjemput Semangat dan Bakat Mereka



Menjemput Semangat dan Bakat Mereka


Rabu, 19 November 2014
Sumber : Harian Kompas
Penulis Artikel : Cornelius Helmy
Oleh : Dwi Aulia Syifayantie 

http://print.kompas.com/getattachment/c9406e17-88e0-464c-93ee-31ac24c9e811


Dadan Erawan (33) dan Ginanjar MS (22) setia menjemput semangat anak–anak usia sekolah di sekitar perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka terpanggil memberikan kesempatan setara kepada anak-anak yang kurang beruntung.
 
Beberapa ketukan di pintu rumahnya membangunkan Endang (38), warga Kampung Bojong, Desa Kersamaju, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, dari tidurnya. Jarum jam menunjukkan pukul 23.00. Tidak biasanya Endang menerima tamu selarut itu. Kejutan tidak berhenti. Di depan pintu, Dadan Erawan dan beberapa guru SMK Widya Mukti, Cigalontang, mengucapkan salam.
Dadan tidak lama berbasa-basi saat dipersilakan masuk. Ia langsung bertanya apakah anak Endang yang bernama Siti Rohayati (16),  mau melanjutkan sekolah selepas SMP atau tidak?

“Inginnya begitu, tapi tidak punya biaya,” jawab Endang yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pembuat pita itu.
Jawaban itu kembali Dadan dengar, biaya sekolah jadi kendala utama.
“Rohayati bisa sekolah di SMK Widya Mukti. Tidak ada uang gedung, uang sekolah semampunya saja,” ujar Dadan.
Endang menoleh pada anaknya. “Bade sakola (mau sekolah)?” tanya Endang.
Rohayati tersenyum. Ia mengangguk setuju.

Wirausaha
 
Kini, Rohayati duduk di kelas II SMK Widya Mukti. Bersama 84 murid lainnya, ia belajar di sekolah yang berdiri dekat perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya itu. Sekitar 80 persen siswa SMK ini adalah anak-anak yang diajak sekolah lagi. Ada yang telanjur bekerja atau tidak yakin bisa melanjutkan pendidikan.

Sejak tiga tahun lalu, SMK Widya Mukti seperti rumah bagi anak-anak yang kurang beruntung itu. Berbeda dengan sekolah lain, siswa diminta terus belajar tanpa harus memusingkan biaya. SMK Widya Mukti bersama tiga sekolah lain di Garut di bawah pengelolaan Yayasan Setia Bhakti. Yayasan ini menyisihkan pendapatan dari pengelolaan pasar tradisional Genteng di Garut dan toko alat-alat bangunan di Bandung untuk operasional sekolah.

Menurut Dadan, kebiasaan turun ke lapangan mencari murid sudah dilakukan sejak SMK Widya Mukti berdiri tiga tahun lalu. Fokusnya mengajak anak usia sekolah yang terkendala faktor geografis dan biaya kembali belajar.

Dadan biasa melakukannya mulai siang setelah jam pelajaran usai. Badannya dipaksa terus bugar. Kakinya dibawa menyusuri jalan rusak sekitar Garut-Tasikmalaya. Hujan deras bukan halangan. Saat muncul keinginan siswa untuk sekolah lagi, itu menjadi imbalan setimpal.

“Penolakan pernah ada. Namun, banyak juga orangtua siswa mengubah pandangan mereka. Dari hanya puas anaknya lulus SMP, mereka kini berharap anak-anaknya bisa sekolah setinggi mungkin,” kata Dadan yang mulai mengajar sejak 10 tahun.

Enung (41) warga Sukaikhlas, Desa Sukatani, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, adalah salah seorang di antaranya. Awalnya, ia menganggap lulus SMP cukup bagi anaknya. Berat baginya membiayai jenjang sekolah lebih tinggi. Hanya bekerja sebagai buruh kebun teh, ia nyaris merestui anaknya bekerja.

Saat Dadan datang ke rumahnya, Enung sedikit lebih tenang. Saat mengetahui sekolah tak perlu biaya tinggi, ia seperti punya harapan. Enung semakin mantap saat SMK Widya Mukti mengajarkan praktik kewirausahaan. Keuntungannya tidak besar. Namun, cukup membiayai ongkos transportasi anaknya dari rumah ke sekolah.
 “Sekarang rumah saya jadi tempat latihan wirausaha siswa. Setelah pulang sekolah, mereka kerap memasak di sini,” kata Enung.
 
Ginanjar MS (22), guru SMK Widya Mukti lainnya, yang bertanggung jawab mendampingi program kewirausahaan tersebut. Ia mengatakan, program itu kini diikuti 16 siswa yang dibagi dalam dua kelompok. Dengan modal Rp 100.000 per kelompok, mereka memasak dan menjual penganan ringan dari tepung kanji.

“Awalnya dari keluhan siswa yang berat menanggung biaya transportasi ke sekolah. Rumahnya jauh dari sekolah,” katanya.
Akan tetapi, Ginanjar mengatakan, tujuan wirausaha tidak sesederhana itu. Mimpinya mendorong siswa lebih mandiri. Meski berharap semua lulusan SMK Widya Mukti melanjutkan sekolah, setidaknya ada bekal wirausaha bagi mereka yang belum beruntung. Canda tawa lewat transfer ilmu wirausaha juga semakin mendekatkan ikatan guru dan siswa.
“Kepercayaan diri siswa juga ikut diasah. Hasil dagangan dijual sendiri. Mulai dari angkutan umum atau warung yang dilewati saat pergi sekolah hingga menjajakan di lingkungan sekolah saat istirahat,” ujarnya.

Nurdiyanti (17) warga Desa Kersamaju, Tasikmalaya, merasakan nikmat berwirausaha. Awalnya, ia hampir tidak melanjutkan sekolah. SMA dekat rumahnya mewajibkan uang gedung hingga Rp 5 juta. Ayahnya yang bekerja sebagai petani tidak punya cukup uang untuk membiayainya. Ia siap putus sekolah.
“Tawaran Pak Dadan dan Pak Ginanjar tidak saya lewatkan meski harus menempuh perjalanan belasan kilometer. Sejak awal saya memang ingin sekolah biarpun saat hujan sering kali basah kuyup sampai sekolah,” kata Nurdiyanti, peraih peringkat kedelapan dari 25 siswa kelas II.

Bangga 

Akan tetapi, tidak semuanya berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Ginanjar mencontohkan angkatan pertama yang jumlahnya menyusut. Pertama kali datang, angkatan pertama itu sebanyak 13 orang. Jumlahnya bertambah menjadi 20 orang. Namun, kemudian menyusut menjadi 15 orang saat menginjak tahun ketiga. Kendala ekonomi membuat siswa hengkang untuk menikah atau bekerja sebelum lulus.

“Berbeda dengan angkatan kedua yang hingga tahun ini tetap berjumlah 25 orang. Angkatan ketiga mencapai 45 siswa. Kami ingin mempertahankannya,” katanya.
Kini, setelah tahun ketiga, giliran guru dibuat bangga. Dadan mencontohkan Aas Trisnawati (16) yang menyabet juara III di ajang Semarak Inovasi Pengembangan Pertanian Indonesia 2013 di Bogor. Karya tulis berjudul “Analisis Jumlah Petani di Tasikmalaya” memikat juri. Sebelumnya, Aas putus sekolah dan sempat bekerja selepas.

Anak-anak yang susah payah diajak sekolah kembali juga membuktikan kemampuannya. Rohayati kini tidak pernah jauh dari tiga terbaik di kelas. Ia bahkan berani bermimpi lebih
tinggi.
“Saya ingin jadi dokter,” kata Rohayati.
Bakat besar bangsa ini tumbuh di mana saja. Hanya butuh kemauan dan kesempatan agar membuatnya lebih harum.

Kita wajib mencontoh sikap yang ditunjukan Dadan Erawan dan Ginanjar, sikap yang peduli satu sama lain apalagi terhadap pendidikan bagi warga yang kurang mampu. Dengan sikap yang pantang menyerah untuk menemukan anak yang mau belajar, dan selalu melewati setiap tantangan dan rintangan yang dihadapinya. 

Dadan Erawan 


  •  Lahir: Garut, 20 Maret 1981

  •  Pendidikan:

- SD Pasanggarahan I Garut (Lulus 1993)
- SMPN Cilawu Garut (Lulus 1996)
- SMAN I Cilawu Garut (1999)
- S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di STKIP Garut (Lulus 2004)
- S-2 Jurusan Manajemen Sistem Pendidikan di Universitas Galuh, Ciamis (Lulus 2008)

Ginanjar MS 


  • Lahir: Garut, 10 April 1992
  • Pendidikan: 

- SD Sabang Bandung (Lulus 2004)
- SMPN 27 Bandung (Lulus 2007)
- SMAN 1 Garut (Lulus 2010) 
- S-1 Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (Lulus 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar