Menjemput Semangat dan Bakat Mereka
Rabu,
19 November 2014
Sumber
: Harian Kompas
Penulis
Artikel : Cornelius Helmy
Oleh
: Dwi Aulia Syifayantie
http://print.kompas.com/getattachment/c9406e17-88e0-464c-93ee-31ac24c9e811 |
Dadan Erawan (33) dan Ginanjar MS (22) setia
menjemput semangat anak–anak usia sekolah di sekitar perbatasan Kabupaten Garut
dan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka terpanggil memberikan kesempatan
setara kepada anak-anak yang kurang beruntung.
Beberapa
ketukan di pintu rumahnya membangunkan Endang (38), warga Kampung Bojong, Desa
Kersamaju, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, dari tidurnya. Jarum
jam menunjukkan pukul 23.00. Tidak biasanya Endang menerima tamu selarut itu.
Kejutan tidak berhenti. Di depan pintu, Dadan Erawan dan beberapa guru SMK
Widya Mukti, Cigalontang, mengucapkan salam.
Dadan tidak
lama berbasa-basi saat dipersilakan masuk. Ia langsung bertanya apakah anak
Endang yang bernama Siti Rohayati (16), mau melanjutkan sekolah selepas SMP atau
tidak?
“Inginnya
begitu, tapi tidak punya biaya,” jawab Endang yang sehari-hari bekerja sebagai
buruh pembuat pita itu.
Jawaban itu
kembali Dadan dengar, biaya sekolah jadi kendala utama.
“Rohayati bisa
sekolah di SMK Widya Mukti. Tidak ada uang gedung, uang sekolah semampunya
saja,” ujar Dadan.
Endang menoleh
pada anaknya. “Bade sakola (mau sekolah)?” tanya Endang.
Rohayati
tersenyum. Ia mengangguk setuju.
Wirausaha
Kini, Rohayati
duduk di kelas II SMK Widya Mukti. Bersama 84 murid lainnya, ia belajar di
sekolah yang berdiri dekat perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya
itu. Sekitar 80 persen siswa SMK ini adalah anak-anak yang diajak sekolah lagi.
Ada yang telanjur bekerja atau tidak yakin bisa melanjutkan pendidikan.
Sejak tiga
tahun lalu, SMK Widya Mukti seperti rumah bagi anak-anak yang kurang beruntung
itu. Berbeda dengan sekolah lain, siswa diminta terus belajar tanpa harus
memusingkan biaya. SMK Widya Mukti bersama tiga sekolah lain di Garut di bawah
pengelolaan Yayasan Setia Bhakti. Yayasan ini menyisihkan pendapatan dari
pengelolaan pasar tradisional Genteng di Garut dan toko alat-alat bangunan di
Bandung untuk operasional sekolah.
Menurut Dadan,
kebiasaan turun ke lapangan mencari murid sudah dilakukan sejak SMK Widya Mukti
berdiri tiga tahun lalu. Fokusnya mengajak anak usia sekolah yang terkendala
faktor geografis dan biaya kembali belajar.
Dadan biasa
melakukannya mulai siang setelah jam pelajaran usai. Badannya dipaksa terus
bugar. Kakinya dibawa menyusuri jalan rusak sekitar Garut-Tasikmalaya. Hujan
deras bukan halangan. Saat muncul keinginan siswa untuk sekolah lagi, itu
menjadi imbalan setimpal.
“Penolakan
pernah ada. Namun, banyak juga orangtua siswa mengubah pandangan mereka. Dari
hanya puas anaknya lulus SMP, mereka kini berharap anak-anaknya bisa sekolah
setinggi mungkin,” kata Dadan yang mulai mengajar sejak 10 tahun.
Enung (41)
warga Sukaikhlas, Desa Sukatani, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, adalah
salah seorang di antaranya. Awalnya, ia menganggap lulus SMP cukup bagi
anaknya. Berat baginya membiayai jenjang sekolah lebih tinggi. Hanya bekerja
sebagai buruh kebun teh, ia nyaris merestui anaknya bekerja.
Saat Dadan
datang ke rumahnya, Enung sedikit lebih tenang. Saat mengetahui sekolah tak
perlu biaya tinggi, ia seperti punya harapan. Enung semakin mantap saat SMK
Widya Mukti mengajarkan praktik kewirausahaan. Keuntungannya tidak besar.
Namun, cukup membiayai ongkos transportasi anaknya dari rumah ke sekolah.
“Sekarang rumah
saya jadi tempat latihan wirausaha siswa. Setelah pulang sekolah, mereka kerap
memasak di sini,” kata Enung.
Ginanjar MS
(22), guru SMK Widya Mukti lainnya, yang bertanggung jawab mendampingi program
kewirausahaan tersebut. Ia mengatakan, program itu kini diikuti 16 siswa yang
dibagi dalam dua kelompok. Dengan modal Rp 100.000 per kelompok, mereka memasak
dan menjual penganan ringan dari tepung kanji.
“Awalnya dari
keluhan siswa yang berat menanggung biaya transportasi ke sekolah. Rumahnya
jauh dari sekolah,” katanya.
Akan tetapi,
Ginanjar mengatakan, tujuan wirausaha tidak sesederhana itu. Mimpinya mendorong
siswa lebih mandiri. Meski berharap semua lulusan SMK Widya Mukti melanjutkan
sekolah, setidaknya ada bekal wirausaha bagi mereka yang belum beruntung. Canda
tawa lewat transfer ilmu wirausaha juga semakin mendekatkan ikatan guru dan
siswa.
“Kepercayaan
diri siswa juga ikut diasah. Hasil dagangan dijual sendiri. Mulai dari angkutan
umum atau warung yang dilewati saat pergi sekolah hingga menjajakan di
lingkungan sekolah saat istirahat,” ujarnya.
Nurdiyanti (17)
warga Desa Kersamaju, Tasikmalaya, merasakan nikmat berwirausaha. Awalnya, ia
hampir tidak melanjutkan sekolah. SMA dekat rumahnya mewajibkan uang gedung
hingga Rp 5 juta. Ayahnya yang bekerja sebagai petani tidak punya cukup uang
untuk membiayainya. Ia siap putus sekolah.
“Tawaran Pak
Dadan dan Pak Ginanjar tidak saya lewatkan meski harus menempuh perjalanan
belasan kilometer. Sejak awal saya memang ingin sekolah biarpun saat hujan
sering kali basah kuyup sampai sekolah,” kata Nurdiyanti, peraih peringkat
kedelapan dari 25 siswa kelas II.
Bangga
Akan tetapi,
tidak semuanya berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Ginanjar
mencontohkan angkatan pertama yang jumlahnya menyusut. Pertama kali datang,
angkatan pertama itu sebanyak 13 orang. Jumlahnya bertambah menjadi 20 orang.
Namun, kemudian menyusut menjadi 15 orang saat menginjak tahun ketiga. Kendala
ekonomi membuat siswa hengkang untuk menikah atau bekerja sebelum lulus.
“Berbeda dengan
angkatan kedua yang hingga tahun ini tetap berjumlah 25 orang. Angkatan ketiga
mencapai 45 siswa. Kami ingin mempertahankannya,” katanya.
Kini, setelah
tahun ketiga, giliran guru dibuat bangga. Dadan mencontohkan Aas Trisnawati
(16) yang menyabet juara III di ajang Semarak Inovasi Pengembangan Pertanian
Indonesia 2013 di Bogor. Karya tulis berjudul “Analisis Jumlah Petani di
Tasikmalaya” memikat juri. Sebelumnya, Aas putus sekolah dan sempat bekerja
selepas.
Anak-anak yang
susah payah diajak sekolah kembali juga membuktikan kemampuannya. Rohayati kini
tidak pernah jauh dari tiga terbaik di kelas. Ia bahkan berani bermimpi lebih
tinggi.
tinggi.
“Saya ingin
jadi dokter,” kata Rohayati.
Bakat besar
bangsa ini tumbuh di mana saja. Hanya butuh kemauan dan kesempatan agar
membuatnya lebih harum.
Kita wajib
mencontoh sikap yang ditunjukan Dadan Erawan dan Ginanjar, sikap yang peduli
satu sama lain apalagi terhadap pendidikan bagi warga yang kurang mampu. Dengan
sikap yang pantang menyerah untuk menemukan anak yang mau belajar, dan selalu
melewati setiap tantangan dan rintangan yang dihadapinya.
Dadan Erawan
- Lahir: Garut, 20 Maret 1981
- Pendidikan:
- SD Pasanggarahan I Garut (Lulus 1993)
- SMPN Cilawu Garut (Lulus 1996)
- SMAN I Cilawu Garut (1999)
- S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di STKIP Garut (Lulus 2004)
- S-2 Jurusan Manajemen Sistem Pendidikan di Universitas Galuh, Ciamis
(Lulus 2008)
Ginanjar MS
- Lahir: Garut, 10 April 1992
- Pendidikan:
- SD Sabang Bandung (Lulus 2004)
- SMPN 27 Bandung (Lulus 2007)
- SMAN 1 Garut (Lulus 2010)
- S-1 Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
(Lulus 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar